MEWOH CS ‘PASRAH’

MK Ketuk 3 Perubahan Aturan Pemilu


Putusan MK :

-          Pemilih Bisa Gunakan Surat Keterangan (Suket)

-          Tambahan Waktu Untuk Pindah Memilih

-          Tambahan Waktu Untuk Penghitungan Suara

 

Palu Mahkamah Konstitusi (MK) diketuk. Sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) terkabul. Langkah menindaklanjuti tiga poin hasil putusan ditegaskan. Arahan resmi pimpinan pusat pun dinanti. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Utara (Sulut) nyatakan siap eksekusi instruksi.

 

Asa publik menanti gerak MK terkait keluh seputar teknis pemilu terjawab. Tiga hal penting telah diputuskan MK sehingga diharap mampu menutup cela polemik jelang pesta demokrasi 2019. MK mengabulkan sejumlah permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, dengan nomor perkara 20/PUU-XVII/2019.

Pertama, MK memperbolehkan pemilih yang tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan belum memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) bisa memilih menggunakan surat keterangan (suket) yakni keterangan merekam data kependudukan yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencataan Sipil (Dukcapil). Kedua, memutuskan memperbolehkan penambahan waktu pindah memilih. Ini untuk kondisi khusus yakni bencana alam, sakit, tahanan atau menjalankan tugas pada hari H pemungutan suara. Seperti pilot atau wartawan tetap bisa diurus hingga H-7 pemungutan suara pemilu. Ketiga, MK juga mengabulkan soal penghitungan suara pada hari H diperpanjang hingga 12 jam berikutnya tanpa jeda.

 

Uji materi yang dikabulkan pertama itu yakni soal Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu terkait penggunaan e-KTP untuk memilih. Menurut pemohon, pasal itu membuat pemilih yang tidak memiliki e-KTP dengan jumlah sekitar 4 juta orang berpotensi kehilangan suara. Kemudian, MK memutuskan bagi mereka yang belum memiliki e-KTP, dapat menggunakan suket perekaman untuk mencoblos.

"Sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk pula surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau instansi lain yang sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (28/3).

Dalam pertimbangannya mengatakan, e-KTP merupakan identitas resmi yang wajib dimiliki Warga Negara Indonesia (WNI). Oleh karena itu, e-KTP menjadi syarat minimal untuk mencoblos. Disadari pula, belum semua WNI memiliki e-KTP meski sudah punya hak pilih. Oleh karena itu, MK memperbolehkan penggunaan suket perekaman e-KTP demi menjamin terakomodasinya hak pilih masyarakat.

"Agar hak memilih warga negara dimaksud tetap dapat dilindungi dan dilayani dalam Pemilu, dapat diberlakukan syarat dokumen berupa surat keterangan perekaman e-KTP yang diterbitkan oleh dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil," ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat membacakan putusan di persidangan.

 

Kemudian, terkait MK memperpanjang masa pendaftaran daftar pemilih tambahan (DPTb) menjadi H-7. Sebelumnya, Pasal 210 ayat 1 UU Pemilu berbunyi, ‘Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) dapat dilengkapi daftar pemilih tambahan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara’. Oleh MK, pasal itu diubah menjadi, ‘Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) dapat dilengkapi daftar pemilih tambahan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara. Kecuali bagi pemilih yang karena kondisi tidak terduga di luar kemampuan dan kemauan seperti sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara ditentukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pemungutan suara. "Pembatasan waktu tersebut masih mengandung potensi tidak terlayaninya hak memilih warga negara yang mengalami keadaan tertentu di luar kemampuan dan kemauan yang bersangkutan. Dalam hal ini, tidak ada yang dapat memperkirakan kapan seseorang akan mengalami sakit, bermasalah secara hukum sehingga ditahan atau ditimpa bencana alam. Hal demikian dapat saja menimpa pemilih justru dalam waktu yang berdekatan dengan hari pemungutan suara, sehingga ia harus pindah memilih," ujar MK.

 

Bahwasannya menurut MK, kebutuhan akan perlunya jangka waktu mempersiapkan layanan terhadap pemilih yang pindah memilih dan upaya memenuhi hak memilih warga negara yang mengalami kondisi atau keadaan tertentu yang mengharuskannya pindah memilih, merupakan dua hal yang sama-sama penting. Di dalamnya yang satu tidak boleh menegasikan yang lain. "Dalam arti, alasan melayani hak memilih warga negara tetap harus dalam kerangka memberikan waktu yang cukup bagi penyelenggara untuk mempersiapkan segala perlengkapan pemungutan suara," ujarnya.

 

Pada saat yang sama, alasan memberikan waktu yang cukup bagi penyelenggara tidak boleh mengabaikan hak pilih warga negara yang mengalami keadaan tertentu. Oleh karena itu, upaya memenuhi hak memilih dan kebutuhan ketersediaan waktu yang cukup bagi penyelenggara pemilu, haruslah ditentukan batasnya secara proporsional. "Sehingga prinsip penyelenggaraan pemilu secara jujur dan adil dalam rangka memenuhi hak pilih warga negara tetap dapat dipenuhi," jelasnya.

 

Poin ketiga yang diputuskan MK adalah waktu penghitungan suara di TPS supaya ditambah menjadi 12 jam. "Menurut Mahkamah, perpanjangan jangka waktu penghitungan suara hanya dapat dilakukan sepanjang proses penghitungan dilakukan secara tidak terputus hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suaradi TPS dan TPS Lauar Negeri (TPSLN)," ujar Hakim Konstitusi, Saldi Isra, saat membacakan putusan, kemarin.

 

Penambahan waktu ini, lanjut Saldi, untuk mencegah tidak selesainya proses penghitungan suara pada hari pemungutan suara. Terlebih, Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak pertama antara Pilpres dan Pileg sehingga jumlah peserta pemilunya sangat banyak. Saldi menyebutkan, jumlah peserta Pemilu 2019 antara lain dua pasangan calon presiden, 16 partai politik nasional dan khusus Aceh ditambah dengan 4 (empat) partai politik lokal peserta pemilu dengan ada tiga tingkat pemilihan serta terakhir perorangan calon anggota  DPD-RI. "Kompleksnya formulir-formulir yang harus diisi dalam penyelesaian proses penghitungan suara, potensi tidak selesainya proses penghitungan suara pada hari pemungutan suara sangat terbuka. Belum lagi jika faktor kapasitas dan kapabilitas aparat penyelenggara pemilu, khususnya di tingkat TPS, turut dipertimbangkan," ungkap dia.

Dia melanjutkan, dalam hal potensi yang tak dikehendaki tersebut benar-benar terjadi, sementara UU Pemilu menentukan pembatasan waktu yang sangat singkat dalam menghitung suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara, maka hasil akhir pemilu berpotensi dipersoalkan. Makanya MK berpandangan, adanya penambahan waktu 12 jam tanpa jeda sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN, yaitu pukul 24.00 WIB waktu setempat, sangat masuk akal. Jika diberi waktu lebih lama lagi dari 12 jam, maka bisa menimbulkan masalah lain di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Penambahan waktu ini juga harus tanpa jeda karena jika ada jeda dalam penghitungan suara, dikhawatirkan berpotensi terjadi kecurangan. "Potensi kecurangan terjadi jika proses penghitungan suara yang tidak selesai pada hari pemungutan suara lalu dilanjutkan pada hari berikutnya dengan disertai jeda waktu," tutur Saldi.

 

KPU-RI DAN DUKCAPIL BERI RESPON

 

Perubahan aturan teknis penyelenggaraan pemilu 2019 langsung ditanggap KPU Republik Indonesia (RI). Upaya menindaklanjuti bakal segera diambil. Langkah untuk meneruskan kepada jajaran di bawahnya mulai dikaji pasca putusan.   

Ketua KPU-RI Arief Budiman mengaku, tengah mengkaji pembuatan surat edaran dan perubahan Peraturan KPU (PKPU) setelah MK mengubah sebagian aturan dalam UU Pemilu. "Kami rumuskan dulu. Apakah cukup dengan surat edaran, atau perlu mengubah PKPU karena tahapan pemilu kan diatur di PKPU. Ada juga hal-hal teknis yang diatur di PKPU," ujar Arief di gedung MK, Jakarta, kemarin.

Jika tak ada ketentuan dalam PKPU yang perlu diubah, lanjut Arief, pihaknya akan langsung membuat surat edaran terkait perubahan tersebut. Arief menekankan pentingnya sosialisasi perubahan aturan pasca putusan MK itu bagi penyelenggara pemilu, peserta pemilu maupun pemilih. "Tidak ada artinya kalau ada perubahan itu tapi penyelenggara yang di bawah enggak paham, pemilih enggak paham. Jadi banyak yang harus dikerjakan," jelasnya.

KPU-RI pun memberi tanggapannya terhadap putusan MK yang memperpanjang DPTb Pemilu 2019 menjadi H-7. Atas putusan itu, KPU akan membuka lagi layanan pemilih pindah TPS. "Iya, mulai hari ini boleh lagi (mengurus pindah memilih TPS)," kata Arief.

Arief mengatakan, KPU akan melayani pemilih pindah TPS sesuai ketentuan putusan MK Pasal 210 Ayat 1 UU Pemilu yang baru disahkan. "Untuk pemilih yang mau pindah memilih, tapi pindah memilihnya itu sesuai dengan kondisi tertentu tadi. Kondisi tertentu itu apa, sakit, di lapas dan karena tugas," urai Arief.

Sementara itu, bagi pemilih pindah memilih yang merupakan mahasiswa daerah, tetapi mau mencoblos di kampusnya belum diatur spesifik di putusan MK. Bagi KPU, hal tersebut dapat diatur dalam PKPU. Arief menganggap mahasiswa yang kuliah di daerah sebagai bagian dari menjalankan tugas sehingga dimungkinkan dapat mengurus pindah memilih. "Nggak disebut sebetulnya, sebetulnya orang bisa juga memahami sekolah itu tugas. Kan ada pegawai-pegawai yang ditugaskan sekolah, jadi bisa juga karena persoalan begitu. Kalau di PKPU kan diatur bisa, kami memahami, menerjemahkan menjalankan tugas itu termasuk itu. Tapi kan tadi diatur, dibunyikan spesifik siapa saja yang boleh berpindah tadi," kata Arief.

Namun bagi pemilih di luar syarat tersebut tidak bisa mengurus layanan pindah TPS lagi saat ini. Misalnya, bagi pihak yang akan jalan-jalan pada hari pemungutan suara sebab hal itu tak disebutkan di putusan MK. "Nggak bisa di luar yang itu. (pemilih) Jalan-jalan misalnya, nggak bisa. Karena kami akan katakan, jalan-jalannya dimajukan atau dimundurkan saja jangan tanggal 17, gitu," ujar Arief.

 

KPU-RI dan Dukcapil juga telah menyepakati penggunaan suket sebagai alternatif pengganti e-KTP. Meski begitu syarat seseorang untuk mendapat suket ialah tercantum dalam DPT Pemilu 2019. Sedangkan untuk dapat didata di DPT, pemilih harus memiliki, atau setidaknya, sudah melakukan perekaman e-KTP. Sehingga dapat dikatakan, suket hanya bisa digunakan untuk pemilih yang datanya sudah direkam dalam e-KTP. Kecuali, pemilih pemula berusia 17 di tahun 2019 yang baru akan melakukan perekaman e-KTP setelah genap 17 tahun. Hal ini telah disepakati KPU, Ditjen Dukcapil, Kemendagri dan Komisi II DPR-RI melalui rapat dengar pendapat (RDP). "Kemarin kesepakatannya (dalam RDP, red), yang sudah masuk dalam DPT, kalau KTP lupa atau tertinggal di rumah boleh bawa KK (Kartu Keluarga), suket gitu dari Dukcapil ya," kata Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh seraya menambahkan, penggunaan suket sebisa mungkin diminimalisir, caranya yakni perekaman dan pencetakan e-KTP akan dikebut oleh Dukcapil.

 

SULUT TUNGGU PETUNJUK RESMI

 

Kabar putusan MK ‘mengiang’ hingga ke penghuni gedung KPU Provinsi Sulut. Meski begitu, pasukan besutan Ardiles Mewoh belum bisa berbuat banyak pasca putusan. Pihaknya masih menunggu turunnya arahan resmi dari petinggi penyelanggara pemilu di pusat. Namun memastikan akan menjalankan apapun titahnya.

 

Pernyataan tersebut disampaikan Ketua KPU Provinsi Sulut, Ardiles Mewoh, ketika dikonfirmasi harian ini, kemarin. “Menunggu surat dari KPU-RI,” singkat Mewoh.  

Senada diungkapkan, Komisioner KPU Sulut lainnya, Lanny Ointu. Ia menjelaskan, pihaknya tetap masih menunggu petunjuk dan arahan dari KPU-RI karena keputusan MK baru saja keluar. “Sebagai lembaga yang hirarki kami patuh dan akan melaksanakan semua yang menjadi arahan dri KPU-RI,” tegasnya, tadi malam.

Ia mengungkapkan, belum bisa memberikan statemen berlebihan karena banyak tahapan yang sudah mereka selesaikan sampati saat ini. Itu mengenai DPT, DPTb dan Daftar Pemilih Khusus (DPK) yang sesuai dengan aturan. “Kami menunggu petunjuk resmi dan tertulis. Kami tetap menunggu arahan dari KPU-RI sebentar malam (tadi malam, red) mungkin bisa turun juknis (petunjuk teknis) atau SE (surat edaran), itu yang menjadi pedoman kami,” pungkasnya.

Tanggapan KPU pusat terkait putusan MK baginya, sampai sejauh ini masih sekedar pernyataan yang dimuat di media. Pihaknya menantikan yang benar-benar sudah resmi. “Iya, tanggapan media tapi kami menunggu yang resmi tertulis. Pusat masih pleno,” kuncinya.

 

PENGAMAT MINTA KPU PERHATIKAN SEJUMLAH HAL

 

Armada penyelenggara pemilu di Bumi Nyiur Melambai diingatkan. Pasca putusan MK, jajaran KPU  di Sulut harapannya bisa memperhatikan sederet persoalan. Utamanya seputar tiga poin yang telah ditetapkan.  

 

Pengamat politik dan pemerintahan Sulut, Ferry Liando pertama kali ‘mengorek’ soal putusan dimungkinkannya suket untuk wajib didaftar dalam DPT sehingga meski tak punya KTP bisa didaftar. Terkait hal ini, ia berharap KPU melakukan pencermatan ulang dengan melayani mereka yang tak punya KTP tapi punya dokumen pengganti yaitu KTP. Dampaknya adalah KPU harus melakukan pleno berjenjang untuk penyesuaian DPT perbaikan. “Hal ini penting untuk 2 hal yakni untuk memastikan penambahan tempat pemungutan suara  dan penambahan surat suara. Kemudian sebagai pegangan peserta pemilu agar pasca pencoblosan tidak ada lagi yang mempersoalkan DPT,” ungkapnya.  

 

Selanjutnya ia menerangkan, sebelumnya dalam UU pemilu diatur bahwa batas pelayanan pemilih pindahan adalah 30 hari sebelum pencoblosan. Namun MK memberikan kelonggaran 7 hari sebelum pencoblosan terutama bagi pemilih yang sakit, tahanan dan korban bencana alam. Baginya, putusan ini kemungkinan terjadinya penumpukan pemilih pada TPS tertentu. “Sehingga amat Sulit membuat estimasi jumlah pemilih dalam setiap TPS,” urainya.   

 

Terkait poin ketiga dirinya menjelaskan, UU pemilu menyebutkan bahwa penghitungan suara harus selesai pada hari pemungutan suara. Jika mengikuti norma ini maka amat sulit bagi KPPS untuk memenuhinya. “Simulasi pencoblosan di Minahasa minggu lalu, pemungutan suara selesai pada pukul 23.00 Wita dengan jumlah pemilih sekitar 120 orang. Kalau dalam TPS ada 300 pemilih maka amat sulit selesai pada pukul 24.00 Wita. Hal ini terjadi karena surat suara  mengalami ketambahan menjadi 5 lembar. Semoga putusan MK ini menjadikan sejumlah masalah krusial yang sempat mengkhawatirkan bisa terpecahkan,” kuncinya. (rpb/dtc/kmp/cnn/tim ms)

 


Komentar

Populer Hari ini



Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting