‘SAYONARA’ UJIAN NASIONAL


Jakarta, MS

Nasib Ujian Nasional (UN) di ujung tanduk. Sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional yang bergulir sekira tahun 2011 ini, akan diganti asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Teranyar, sistem baru itu akan mulai diterapkan tahun 2021.

Kebijakan tersebut digedor Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Pendiri Gojek dan jebolan Brown University Amerika Serikat (AS) ini beranggapan, sejumlah persoalan melilit UN. Merujuk survei dan diskusi bersama dengan unsur orangtua, siswa, guru, praktisi pendidikan dan kepala sekolah,  materi UN terlalu padat sehingga cenderung mengajarkan materi dan menghafal materi, bukan kompetensi. UN juga membuat siswa dan guru stres, dan hal itu mengubah indikator keberhasilan siswa sebagai individu. Padahal sebenarnya, UN penilaian sistem pendidikan baik itu sekolahnya, geografi, hingga sistem pendidikan nasional. Lebih jauh, UN hanya menilai satu aspek, yakni kognitifnya.

Oleh sebab itu, Nadiem akan menerapkan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter sebagai pengganti UN. Ujian ini akan digelar bukan di ujung jenjang sekolah seperti UN, melainkan di tengah jenjang.

"Yang tadinya di akhir jenjang, kita akan ubah itu di tengah jenjang," kata Nadiem, Rabu (11/12).

Maksud tengah jenjang, misalnya saat kelas 4 Sekolah Dasar (SD) dan bukan kelas 6 SD, kelas 8 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan bukan kelas 9 SMP, juga kelas 11 Sekolah Menengah Atas (SMA) bukan kelas 12 SMA. Ujian di tengah jenjang memungkinkan pihak pendidik punya waktu untuk memperbaiki kualitas siswa sebelum lulus dalam suatu jenjang, entah itu lulus SD, lulus SMP, atau lulus SMA. Perbaikan berdasarkan hasil asesmen dan survei tak akan bisa dilakukan bila hasilnya baru diketahui di akhir jenjang pendidikan.

"Alasan pertama adalah, kalau dilakukan di tengah jenjang ini memberikan waktu untuk sekolah dan guru-guru melakukan perbaikan sebelum anak itu lulus jenjang itu," terang Nadiem.

Hasil dari ujian itu bakal menunjukkan kepada guru-guru, siswa mana saja yang membutuhkan bantuan ekstra supaya kualitasnya bisa sesuai target. Alasan kedua, asesmen di tengah jenjang diterapkan agar tak ada lagi ujian akhir yang menjadi beban siswa dan orang tua. "Karena dilakukan di tengah jenjang, ini tidak bisa digunakan untuk sebagai alat seleksi untuk siswa-siswi kita, dan tidak lagi menimbulkan stres di orang tua dan anak-anak. Karena, ini adalah formatif, artinya, berguna bagi sekolah, berguna bagi guru untuk kemudian memperbaiki dirinya," tutur Nadiem.

Terkait survei karakter, Nadiem mengatakan, selama ini pemerintah hanya memiliki data kognitif dari para siswa tapi tidak mengetahui kondisi ekosistem di sekolah para siswa. "Kita tidak mengetahui apakah asas-asas Pancasila itu benar-benar dirasakan oleh siswa se-Indonesia. Kita akan menanyakan survei-survei untuk mengetahui ekosistem sekolahnya. Bagaimana implementasi gotong royong. Apakah level toleransinya sehat dan baik di sekolah itu? Apakah well being atau kebahagiaan anak itu sudah mapan? Apakah ada bullying yang terjadi kepada siswa-siswi di sekolah itu?" jelas Nadiem.

Survei ini akan menjadi panduan untuk sekolah dan pemerintah. Survei karakter itu diharapkan jadi tolok ukur untuk bisa memberikan umpan balik bagi sekolah dalam melakukan perubahan. "Survei ini akan menjadi tolok ukur untuk bisa memberikan umpan balik, memberikan feedback pada sekolah-sekolah untuk melakukan perubahan-perubahan yang akan menciptakan siswa-siswi yang lebih bahagia dan juga lebih kuat asas-asas Pancasilanya di dalam lingkungan sekolahnya," ungkapnya.

Asesemen kompetensi minimum dan survei karakter akan dilakukan dengan bantuan organisasi dalam negeri dan luar negeri, termasuk Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan Bank Dunia (World Bank). Tujuan kerjasama dengan lembaga transnasional itu agar kualitas siswa-siswi Indonesia bisa setara dengan kualitas internasional. "Agar kualitasnya setara dengan kualitas internasional tapi juga penuh dengan kearifan lokal kita ya. Jadi ini kita gotong-royong untuk menciptakan asesmen kompetensi yang lebih baik," aku Nadiem.

Masih Nadiem, kebijakan ini mengacu pada Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA), salah satu program OECD, juga Tren dalam Studi Matematika dan Sains Internasional (TIMSS). "Arah kebijakan ini juga mengacu pada praktik baik pada level internasional seperti PISA dan TIMSS," terang Nadiem.

Untuk diketahui, pengumuman soal penggantian UN disampaikan Nadiem saat Rapat Koordinasi (Rakor) bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (11/12).

PICU KOTROVERSI

Terobosan Mendikbud Nadiem Makarim yang akan menyetop UN berpolemik. Gelombang prokotra menyandera kebijakan mantan pendiri gojek itu. Sederet Tokoh Negeri, ‘perang’ pernyataan.

Adalah Mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK). Dia menganggap semangat belajar para siswa akan turun jika UN ditiadakan. JK tidak mendukung rencana Nadiem yang ingin menghapus ujian nasional pada 2021. "Kalau tidak ada UN, semangat belajar akan turun. Itu pasti," tutur JK saat berkunjung ke kantor Transmedia, Jakarta, Rabu (11/12).

Bahkan, JK juga menilai generasi muda juga bisa menjadi lemah dan tak mau bekerja keras. Menurutnya, itu bisa saja terjadi andai ujian nasional benar-benar ditiadakan. "Itu menjadikan kita suatu generasi lembek kalau tidak mau keras, tidak mau tegas bahwa mereka lulus atau tidak lulus. Akan menciptakan generasi muda yang lembek," jelasnya.

JK menilai kebijakan menghapus UN perlu ditunda. Dia berharap Nadiem mengurungkan niatnya untuk meniadakan ujian nasional pada 2021. "Oh iya pastinya (menunda penghapusan ujian nasional)," tutur dia.

JK lalu menyebut peniadaan UN juga bisa berdampak pada penurunan mutu pendidikan nasional. Dia merujuk pada riset oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan (OECD) lewat Programme for International Student Assessment (PISA). Menurutnya, peringkat Indonesia turun pada 2018 karena ujian nasional sudah tidak menjadi penentu kelulusan. Berbeda pada 2015 lalu.

Jika UN benar-benar dihapuskan, menurut JK, lazim jika peringkat Indonesia semakin menurun. "Kenapa PISA menerangkan bahwa tahun 2018 turun? Apa yang terjadi antara 2015 ke 2018? Itu karena Ujian Nasional pada waktu itu tidak lagi menjadi penentu kelulusan. Akhirnya semangat belajar berkurang," tandas JK.

Pernyataan berbeda disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi. Politisi Bintang Mercy ini menyambut positif gebrakan Mendikbud yang akan menghapus sistem UN pada 2021 mendatang. Dede berharap penggantian sistem ujian itu segera disosialisasikan.

"Kami menyambut positif, sejauh ini kita menyambut positif dan harapannya dalam waktu satu tahun ke depan ini akan bisa lebih dioptimalkan kembali, metode apa yang akan digunakan. Disosialisasikan," kata Dede di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (11/12).

Politisi Partai Demokrat itu menilai sistem UN memang sudah usang. Sebab, menurut Dede, UN saat ini memaksa sekolah-sekolah tampak sama rata, meski pada kenyataannya tidak demikian. "Menurut saya sih ini memang sudah disepakati bersama dengan kita bahwa UN itu dianggap saat ini sebagai salah satu bentuk yang membuat stres bagi siswa maupun juga bagi guru dan bagi sekolah," tuturnya.

"Karena ada penyeragaman, penyamarataan untuk seluruh wilayah. Karena kita tahu demografi Indonesia ada dari daerah tertinggal, daerah terluar, ada daerah berkembang, ada juga daerah yang sudah berkembang. Nah ini tentu tidak bisa disamakan," imbuh Dede.

Dede mengatakan, DPR bakal memantau masa transisi penggantian UN di 2021. Ia menilai jangka waktu selama satu tahun untuk mempersiapkan pengganti UN sudah tepat. "Pasti transisi akan terjadi maka dari itu. Maka sudah tepat kalau transisi dimulai dari sekarang. Jadi sampai 2021 artinya ada satu tahun itu adalah transisi," tuturnya.

Senada disampaikan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Mereka  menyambut positif rencana penghapusan UN mulai 2021 mendatang.

Meskipun setuju, namun FSGI menyebut evaluasi terhadap pembelajaran yang dilakukan siswa harus tetap ada. "FSGI menyambut positif rencana Mas Nadiem menghapus UN, tetapi evaluasi terhadap pembelajaran harus tetap ada," ujar Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) FSGI Satriwan Salim melalui keterangan tertulisnya, Rabu (11/12).

Menurut Satriwan, evaluasi tersebut harus tetap ada karena merupakan perintah dari undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Oleh karena itu, kata dia, FSGI menilai bahwa seharusnya UN direposisi dari beberapa hal, antara lain dari kedudukan, pola, tujuan, serta fungsinya.

"Kedudukan UN selama ini apalagi dengan adanya zonasi siswa adalah sangat tidak relevan. Sebab siswa masuk alih jenjang (SD ke SMP, SMP ke SMA, SMA ke PT) bukan berdasarkan hasil UN," kata dia.

Kemudian, kata dia, tujuan UN juga seharusnya untuk pemetaan capaian berdasarkan karakteristik daerah dan bukan alat untuk menilai siswa.

"Pola UN seperti sekarang sudah sangat tertinggal dibanding negara maju. Evaluasi pembelajaran sebagai perintah UU Sisdiknas, haruslah tetap ada tetapi polanya bisa di Kelas 4 SD, Kelas 8 SMP, dan Kelas 11 SMA," kata dia.

Satriwan mengatakan, UN juga jangan lagi disamakan pelaksanaannya antardaerah setiap tahun. Sebab menurutnya, pemetaan tak mesti setiap tahun dan dilakukan saat akhir tahun sekolah.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan pelaksanaan UN memang harus dievaluasi. Ia mengaku sudah mendapat penjelasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim soal perubahan ujian itu. "Yang disampaikan ke saya bukan dihapus, dimodifikasi dan memang harus dievaluasi kan," aku Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (11/12).

Muhadjir menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terdapat tahapan evaluasi dalam proses belajar. Ia menyebut pihak yang bisa mengevaluasi antara lain guru, satuan pendidikan, dan pemerintah. "Ujian nasional itu adalah evaluasi yang dilakukan oleh negara," tuturnya.

"Soal namanya, kemudian bentuknya seperti apa, itu engga ada masalah. Yang penting harus ada evaluasi itu. Dan nanti akan dimodifikasi, diperbaharui, sesuai dengan perubahan, karena sudah cukup lama ujian nasional," kata Muhadjir menambahkan.

Mantan Mendikbud itu mengatakan sejak dahulu ujian yang dilaksanakan pada akhir jenjang pendidikan, khusus tingkat pertama dan menengah itu sudah beberapa kali berubah nama dan mekanismenya. "Dulu ada namanya ujian penghabisan, kemudian berubah menjadi ujian negara, sekarang menjadi ujian nasional. Itu soal nama, yang penting, hakikatnya itu evaluasi, evaluasi yang dilakukan oleh negara sesuai amanat UU Sisdiknas," ujarnya.

Muhadjir mengatakan ujian akhir ini tidak benar-benar dihapus, karena hanya berubah nama dan mekanismenya. Namun, kata Muhadjir, untuk pelaksanaannya bisa saja berubah menjadi pada pertengahan semester.

"Misalnya nanti waktunya akan digeser, tidak pada waktu akhir semester, tetap justru pada pertengahan semester," katanya.

"Itu nanti bisa berfungsi untuk evaluasi untuk bahan perbaikan kepada guru, ketika mengajar, sehingga murid yang sudah dievaluasi itu bisa diperbaiki sebelum dia selesai (lulus)," ujarnya melanjutkan.

Muhadjir menganggap wajar kritik yang disampaikan terkait keputusan Nadiem menghapus pelaksanaan UN dan menggantinya dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Menurutnya, kritik itu bentuk kepedulian masyarakat terhadap pendidikan. "Justru bagus ada ruang publik untuk berwacana, berdiskusi, kemudian dicari cara yabg terbaik. Justru tandanya publik sangat peduli kan," tuturnya.

Terpisah, soal kritik Jusuf Kalla, Mendikbud Nadiem Makarim menjelaskan, perubahan sistem UN menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter itu justru lebih membuat siswa dan sekolah tertantang. "Enggak sama sekali (membuat siswa lembek), karena UN itu diganti assessment kompetensi di 2021. Malah lebih menchallenge sebenarnya," kata Nadiem di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (11/12). Nadiem menyebut, setelah sistem ujian baru ini diterapkan, pihak sekolah harus mulai menerapkan pembelajaran yang sesungguhnya, atau bukan sekedar penghafalan semata.

WAPRES MINTA DIKAJI

Kontoversi penghapusan UN kian menganga. Petinggi negeri langsung merespon. Penghapusan system evaluasi pendidikan yang bergulir sejak tahun 2011 ini, diminta dikaji.

Itu disampaikan Wampres Ma’ruf Amin. Ia menyebut harus ada alat ukur mengenai kompetensi siswa bila UN dihapus. Ma’ruf meminta penghapusan tersebut harus dikaji dengan baik oleh Kemendikbud.

"(Alat ukur) penting, sebab masih meningkatkan standar-standar yang ada. Itu kelihatan kemampuannya. Nggak masalah ditiadakan, tapi harus dikaji oleh Dikbud," terang Ma’ruf kepada wartawan di Kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (11/12).

Ma’ruf menuturkan harus ada alat ukur yang efektif selain UN. Alat ukur tersebut, menurut Ma’ruf, sangat penting untuk mengetahui kualitas pendidikan di masing-masing daerah. "Oleh karena itu saya mengatakan kalau mau mengganti UN harus ada alat ukur yang efektif yang bisa mengukur tingkat standar daripada pendidikan di masing-masing daerah," paparnya.

UN 2020 BAKAL JADI YANG TERAKHIR

Pelaksanaan UN  tahun 2020 berpotensi menjadi yang terakhir karena formatnya diubah mulai 2021 mendatang.

Berdasarkan informasi yang disampaikan Kemendikbud seperti dilansir detikcom, Rabu (11/12), jadwal Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) untuk SMP, SMA, hingga SMK akan digelar pada Maret dan April 2020.

Kisi-kisi UNBK dapat diunduh lewat situs Kemdikbud atau situs Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Mata pelajaran yang diujikan ada Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, IPA, IPS, dan mata pelajaran lainnya.(detik/cnn/idn/kompas)


Komentar


Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting