Foto: Meiva Lintang
Harga Pala Menukik, Petani Sitaro Berkeluh
Jerit masyarakat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang dan Biaro (Sitaro) membuncah. Harga pala yang menurun sebagai akar masalah. Mulut wakil rakyat pun jadi jembatan. Desakan untuk memacu langkah pemerintah daerah, mengalir kencang.
Turunnya harga pala yang bermain di kisaran Rp50 ribu hingga Rp53 perkilogram dinilai sangat memiriskan bagi rakyat Sulawesi Utara (Sulut). Utamanya Sitaro. Hal itu karena daerah ini merupakan salah satu penghasil pala terbesar di Indonesia dengan kualitas luar biasa. “Kami meminta perhatian pemerintah untuk harga pala,” tegas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulut daerah pemilihan Nusa Utara, Meiva Lintang, ketika menyampaikan aspirasi warga Sitaro ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulut di Rapat Paripurna Laporan Hasil Reses ke-III 2018, baru-baru ini, di ruang Rapat Paripurna Kantor DPRD Sulut.
Hingga kini kondisi pasaran komoditas itu, dianggap belum ada perubahan yang lebih baik. Padahal Pala Kabupaten Sitaro yang berjulukan ‘siau nutmeg’ ini, adalah terbaik kedua di Indonesia. “Bukan hanya pala. Harga komoditas lain juga seperti kopra atau tanaman palawija bermasalah,” tambah Anggota Komisi IV DPRD Sulut itu.
Dirinya menyayangkan, Pala Sitaro yang memiliki aroma lebih tajam itu, tak lagi menyentuh terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat daerah setempat. “Masalah ini berlaku dimana-mana. Bukan hanya di Sitaro tapi di luar daerah Sulut,” tutupnya.
Kepala Dinas Perkebunan Sulut, Refly Ngantung ketika dikonfirmasi mengatakan, tanaman pala ini merupakan komoditi ekspor dunia. Bukan cuma dalam negeri. "Ekspor pala diminati bukan cuma negara Barat tetapi Cina dan negara-negara Asia juga memintai. Dengan demikian punya nilai ekonomis tinggi. Mengapa kemudian harganya di bawah? Ini agak sulit torang simpulkan apakah persoalannya cuma dari pihak pedagang yang memainkan peran atau dari pihak siapa," pungkasnya.
Pastinya menurut dia, pihak pemerintah tidak mengintervensi atas penurunannya. Itu karena pala punya jual beli yang tinggi. Apalagi Sulut penghasil terbesar dengan kualitas yang baik. "Makanya petani di Sulut ini bersatu. Bagaimana dari bawah, mulai tingkat kabupaten kota hingga provunsi membangun suatu kebersamaan yang dikorporasikan. Karena ada juga kebijakan Menteri Pertanian, terkait pengembangan komoditi berbasis kawasan. Seperti Pala yang di Siau, kemudian Sangihe, Talaud, Minut (Minahasa Utara), di Bitung. Kawasan ini kita korporasikan," jelasnya.
Langkah itu penting agar ritme produksi pala bukan diatur siapapun, melainkan petani sendiri. Dengan kemudian melihat, kebutuhan-kebutuhan apa yang bisa meningkatkan produksi. Begitu pula modal bisa diatur secara bersama. "Pemerintah terus berupaya memfasilitasi sesuai kemampuan. Seperti mencari resi gudang. Namun bila ini dilakukan memakan biaya cukup tinggi maka kita harus mencari ‘bapak angkat’. Atau perusahaan yang berpotensi seperti PT Gunung Intan Permata Manado. Kita mendorong agar mereka jangan hanya mengincar palanya tapi menghidupkan petani. Begitu juga para eksportir. Jangan sampai ada permainan politik dagang," jelasnya.
Memang diakuinya, ada terjadi pelemahan di ekonomi dunia. Dengan demikian mengakibatkan terjadinya hukum pasar. Otomatis bila produksi kurang, harganya naik. Sebaliknya, produksi tinggi harga menurun.
"Tahun lalu diakui memang produksi cukup signifikan untuk pala, cengkih dan sawit. Pada tahun 2018 produksi tinggi karena dampak musim kemarau. Meski kita juga bersyukur ada peningkatan produksi," ujarnya.
Walau demikian pihaknya mengaku, tetap berupaya mencari solusi secara bertahap. Seperti mengoptimalkan produk turunan pala ini. Bukan hanya terfokus pada bijinya saja melainkan juga fuli atau daging pala.
"Nanti bisa jadi minyak pala atau tepung. Kalau minyaknya bisa jadi parfum yang diminati Paris. Makanya kita harus tingkatkan kualitas minimal yang diharapkan negara tujuan ekspor," paparnya.
Pemerintah menurutnya, akan konsisten meningkatkan mutu. Makanya, langkah pemerintah seperti di Siau, telah diberikan 5 unit alat pengering pala. Hal itu karena apabila terjadi kesalahan, kualitas produksinya tidak baik. "Kalau tidak benar kering, masih ada yang namanya aflatoksin. Ini berbahaya. Untuk itu diberikan alat pengering pala. Supaya bisa ada pemberdayaan. Petani bisa mengolah pala yang punya kualitas baik dan bisa bersaing," pungkasnya.
Salah satu capaian yang telah dilakukan pemerintah Sulut, sekarang Gubernur Olly Dondokambey, dipercayakan 6 provinsi untuk mengkordinir masalah ini. Di dalamnya Aceh, Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Barat, Sulut, Sulawesi Tengah. "Sebagai jembatan ke presiden untuk mengkordinir gubernur yang daerahnya penghasil pala. Nanti kebijakan usulan para gubernur ini akan disampaikan ke jalur sesunguuhnya yakni ke presiden. Kita tunggu saja sepak terjang para pelaku di bidang pala," pungkasnya.
Pihaknya komitmen, pemerintah berupaya merebut kembali kejayaan rempah. Baginya, bila nanti ada kerjasama dengan pihak-pihak swasta maka harus ada saling menguntungkan. "Harus ada win win solution dengan petani. Makanya petani harus bersatu jangan dikuasi yang lain. Coba kita tahan beberapa bulan kalau tidak mereka yang mencari," paparnya.
Dirinya menjelaskan, sesuai perhitungannya Rp40 ribu perkilo harusnya masih bisa menghidupi petani. Dibanding komoditi lain, harga pala menurutnya masih lebih lumayan. "Kalau ekspor ke negara lain terkadang capai Rp450 perkilo. Itu di negara ekspor dan dalam kondisi tertentu. Tapi sekarang di Indonesia Rp40 ribu. Kalau di Siau bisa panennya untuk satu hektare bisa capai 3 ton. Kalau 3 ton dikalikan Rp40 ribu, ada sekitar 120 juta pertahun. Kalau Rp120 juta maka sebulan itu Rp10 juta. Itu baru bijinya, belum kalau daging atau fuli," urainya.
Apalagi baginya, pala Siau di Indonesia saningannya hanya pala dari Banda. Ditegaskannya, pala tetap prioritas pemerintah selain kelapa, cengkih dan vanili. "Pala ini tetap diperhatikan pemerintah karena kebutuhan dunia 60 sampai 70 persen. Dan produk dari Sulut itu yang paling dominan dicari. Di kisaran 60 dan 65 persen. Kemudian sekarang sudah ada Papua Barat, Malut, Aceh. Kandungan minyaknya lebih kalau di Aceh," tutupnya.
Diketahui sesuai data yang dirangkum, di medio Juli 2018 harga pala sempat pada Rp60 ribu perkilogram. Teranyar, kualitasnya sangat mempengaruhi pasaran harga. (arfin tompodung)
Komentar