
HUBUNGANNYA DENGAN TANGISAN DAN KEMATIAN Bag.8
Oleh : Alffian W.P. Walukow,S.Pd, M.Pd
(Pengurus Badan Adat Sangihe, Guru di SMAN 3 TAHUNA BARAT)
Sesampainya di darat, raja Syam Syah Alam menyempatkan diri untuk mandi di muara sungai. Sungai tempat raja mandi tersebut dikemudian hari bernama “Salu u malangese” atau “Melanise”. Sehabis mandi, raja langsung beranjak menuju bukit. Tanpa disengaja rombongan raja bertemu dengan permaisuri yang sedang turun dari bukit. Raja pun bertanya kepada isterinya “ I Tanding Bulaeng su apa?”(dimana tanding bulaeng) Jawab isterinya : “ I Tanding dala su wokong Biru kadio”. (tanding ada dipuncak Biru)
Raja Samansialang tidak lagi melanjutkan perjalanan ke puncak bukit tetapi kembali ke istana untuk merencanakan pernikahan dengan putri kandungnya sendiri. Hari demi hari raja Samansialang berpikir mengenai keinginannya untuk menikahi putrinya sendiri. Suatu hari datanglah seorang ulama bertemu dengan raja. Berkatalah sang ulama : “Tuanku raja, saya sudah mendengar semua keinginan tuanku raja untuk mempersunting putri kandung raja”. “ Saya dengan tegas memperingatkan bahwa apa yang akan dilakukan oleh tuanku raja adalah sesuatu hal yang melanggar adat. (dalam versi cerita lain, ulama yang dimaksud adalah Imam Umar Masade).
Raja kembali berkata : “ Kenapa pohon pisang yang kita tanam bisa kita panen sendiri?” Ulama menjawab: “Jika terus dilanjutkan maka akan ada sesuatu bencana yang akan menimpa kerajaan ini”.Sang raja tetap tidak mempedulikan peringatan dari ulama tersebut. Ulama itupun pergi dan menghilang.
Esok harinya, raja memanggil dua orang penasehat kerajaan. Menghadaplah dua penasehat kerajaan dan berkata : “ Apakah kiranya pekerjaan yang harus kami lakukan” Lalu berkatalah raja : “pergilah ketanah tempat tinggal ibu dan sanak saudaraku di Pillipina, dan tanyakanlah kepada mereka apakah bisa saya menikahi anak saya sendiri”
Setelah menerima perintah, bergegaslah penasehat raja ke Pillipina. Pelayaran dilalui dengan rintangan berupa angin kencang dan ombak yang besar. Karena beratnya tantangan dilaut berlabuhlah mereka disebuah pulau kecil. Para penasehat itu tidak lagi melanjutkan pelayaran ke Pillipina. Mereka kebingungan dan takut akan hukuman raja apabila tidak memperoleh jawaban dari pertanyaan raja. Lalu muncullah siasat bagaiman caranya supaya raja percaya kalau mereka sudah sampai ke Pillipina. Mereka lalu mulai bercocok tanam dengan menanam umbi-umbian di pulau tersebut. Beberapa bulan kemudian tibalah saatnya panen. Mereka mulai memanen hasil kebun dan setelah usai panen, kembalilah mereka ke istana Makiwulaeng. Sang raja percaya kalau mereka sudah sampai ke Pillipina karena melihat bawaan mereka berupa umbi-umbian. Dikiranya umbi-umbian tersebut dibawa dari Pillipina.
Berkatalah seorang dari dua penasehat raja tersebut : “ Tuanku raja, pertanyaan tuanku raja sudah kami sampaikan. Ibu dan saudara-saudara tuanku raja di Pillipina mengijinkan tuanku raja menikahi anak kandung tuanku raja”.
Betapa senangnya hati sang raja saat mendengar jawaban tersebut. Sejak saat itu dipersiapkanlah sebuah pesta yang besar menyambut pernikahan. Saat waktu pernikahan tiba, diambillah putri Tanding dari persembunyiannya. Pihak kerajaan mengadakan pesta meriah untuk pernikahan tersebut. Putri Tanding dipersolek dan dipersiapkan dalam sebuah kamar.
Malam harinya tanpa direncanakan, terjadi kesepakatan antara Pokarila dengan seorang gadis keponakan raja Samansialang. Pokarila memakaikan baju putri Tanding kepada ponakan raja lalu menculik putri Tanding. Ketika raja memasuki kamar putri Tanding, alangkah terkejutnya raja karena didapatinya bukanlah putri Tanding diatas tempat tidur melainkan keponakannya. Rajapun marah. Bersamaan dengan amarahnya itu, datanglah bencana berupa angin puting beliung yang sangat dasyat menghantam kerajaan. Hanya dalam waktu sekejap, hancurlah kerajaan Makiwulaeng. Tanjung Maselihe tempat berdirinya kerajaan Makiwulaeng tenggelam, yang tersisa hanyalah sebuah tanah kecil yang saat ini menjadi pulau Lipaeng.
Dikisahkan bahwa penduduk yang selamat dari bencana, terdampar ke beberapa pantai seperti di Talaud, Tabukan Utara dan di Pantai Manado yang menjadi nenek moyang orang-orang Bantik.
Pemunculan Orang Bantik di Kerajaan Tabukan : Dikisahkan pula, di Kampung Bengketang (ene mawira) kec. Tabukan Utara, bahwa sampai awal tahun 1900, terdapat sekelompok orang yang menempati sebuah tempat di dekat Gereja GMIST Yerusalem dan beberapa tempat dekat kampung Bengketang yang disebut sebagai orang Bantik. Dimasa selanjutnya tidak ditemukan lagi orang-orang Bantik di kampung Bengketang dan sekitarnya. Dalam tradisi lisan menyebutkan bahwa mereka adalah sisa dari orang-orang yang mengungsi akibat hancurnya kerajaan Makiwulaeng (kerajaan Kendahe). Sampai saat ini, tempat tersebut bernama “bantik”.
Misteri Hilangnya Kedatuan Mangsohowang akibat bencana : Mangsohowang berasal dari kata “sohobe” (kata bahasa Sangir Sasahara) yang berarti “gatal” yang sama artinya dengan kata “Kolongan” (jenis talas/keladi). Kedatuan ini berkedudukan di kaki gunung awu kemudian hilang akibat letusan gunung Awu pada kisaran tahun 1200-1300. Seterusnya di area yang sama, lahir sebuah kerajaan baru bernama kerajaan Kolongan yang didirikan oleh Pontoralage pada tahun 1500. Penduduk yang menempati kerajaan baru ini memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat dengan penduduk di Manganitu, Kendahe dan Siau. Sampai saat ini tidak ditemukan bukti sisa peninggalan sejarah kedatuan Mangsohowang termasuk penduduknya.
Dalam buku Sangirees–Nederlands woordenboek, Mr.K.G.F. Steller, Ds.W.E.Aebersold. 1959. menerjemahkan kata “bantik” adalah “tau wanti” diartikan “bangsa kafir” atau sebagai “panamba wanti” yang berarti “orang biasa”. Mereka adalah pemimpin atau “tonaseng” diantara para nelayan, diartikan juga sebagai “siladeng atau silade” artinya “manusia yang terdampar”. Dalam tradisi tua Sangir, orang-orang seperti itu disebut (sama dengan) “tau kadọ” atau “badọ” (suku badjo dari Sulawesi selatan) sekelompok orang yang memiliki kebiasaan menempati pesisir pantai. Dalam bahasa Sangir melo-melo kata “wanti” memiliki pengertian “kapok, jerah”, atau “nawanti” yang berarti “lelah, menangis terisak-isak karena terlalu lelah, atau sengsara”. (bersambung)
Komentar