
KONFLIK PASANGAN KEPALA DAERAH MARAK, MENDAGRI : JAGA KEHARMONISAN
Jakarta, MS
Maraknya fenomena keretakan hubungan antar pimpinan daerah memantik perhatian khusus Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Dua faktor yakni kewenangan dan keuangan disebutnya jadi pemicu utama konflik. Warning dilayangkan kepada seluruh pasangan kepala daerah, termasuk di Sulawesi Utara (Sulut).
Renggangnya hubungan antara kepala daerah dan wakilnya
disebut Mendagri kerap berdampak pada tidak optimalnya penyelenggaraan
pemerintahan. Untuk itu ia mengingatkan agar para kepala daerah dan wakilnya
bekerja dengan rukun serta membangun sinergi dengan Forum Koordinasi Pimpinan
Daerah (Forkopimda).
Tito mengatakan masih banyak ditemui konflik antara
kepala daerah dengan wakilnya. Bahkan tak jarang kedua pihak saling menyerang
lewat pernyataan-pernyataan berkonotasi negatif di media massa. “Sumber
disharmoni atau konflik yang terjadi pada pada pengampu jabatan di (suatu)
daerah tersebut biasanya berpangkal dari dua hal, yaitu soal kewenangan dan
masalah keuangan,” ujar Tito saat acara Pembekalan Kepala Daerah, Senin (13/9).
Padahal, lanjut Tito, dalam undang-undang sudah jelas
tertulis bahwa kewenangan memimpin pemerintahan daerah adalah sepenuhnya hak
kepala daerah. “Dalam konteks ini wakil kepala daerah juga harus paham bahwa
kedudukannya dalam pemerintahan daerah adalah membantu kepala daerah agar
tercapai urusan pemerintahan daerah,” katanya lagi.
95 PERSEN PASANGAN KEPALA DAERAH TAK HARMONIS
Keretakan hubungan kepala daerah dan wakilnya yang tak
harmonis ternyata terjadi di sebagian besar wilayah di Indonesia, baik secara
tertutup maupun terbuka. Bahkan, konflik yang terbuka disebut mencapai angka 25
persen.
Tim Independen Nasional Reformasi Birokrasi KemenPAN-RB,
Harris Turino, pernah menyebut jika data di Kemendagri ada sekitar 95 persen
memiliki konflik. “Dari jumlah itu, 25 persen di antaranya konflik terbuka,’’
kata Harris belum lama ini.
Ia mengungkapkan, jika konflik kepala daerah dan
wakilnya sudah sampai tahap mengganggu pelayanan publik, maka akan menjadi
kewenangan Kemendagri untuk mengambil tindakan tegas. ‘‘Dua-duanya dipanggil
agar bisa akur kembali. Kalau memang tidak bisa terselesaikan, maka Kemendagri
bisa ambil tindakan tegas dengan menyuruh mundur,’’ ujarnya.
Akademisi Dr Yayat Hidayat Amir juga tak menampik
fenomena ini. Konflik tersebut tidak bisa dihindari karena aspek politik yang
berorientasi kekuasaan. ‘‘Namun, persoalannya bagaimana mengemas konflik
ini menjadi produktif untuk kepentingan publik. Jika konflik personal yang
kemudian menjadi komoditas publik entah siapa yang diuntungkan maka menjadi
tidak menarik,’’tandasnya.
Ia khawatir, jika konflik tersebut sudah meluas ke ASN
maka akan berimbas pada terganggunya pelayanan publik.
‘PENYAKIT’ BAGI ORGANISASI PEMDA
Rentetan dampak buruk imbas dari konflik antar pimpinan
daerah juga disampaikan Mendagri Tito Karnavian. Ia bahkan menyebut kondisi itu
menjadi ‘penyakit’ bagi organisasi pemerintah daerah. "Yang jelas kondisi
itu (konflik pimpinan daerah, red) membuat organisasi Pemda tidak sehat dan
dipenuhi problem baik internal maupun eksternal. Akibatnya masyarakat juga kena
dampak akibat tidak optimalnya penyelenggaraan pemerintahan,” lugasnya.
Oleh sebab itu, Tito mengajak agar para pemimpin kepala
daerah benar-benar mengingat dan mengaplikasikan substansi UU Nomor 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah. Dalam aturan itu seluruh kewenangan,
tanggung-jawab dan pola hubungan pusat dan daerah secara lengkap dan jelas
sudah diatur.
"Kepala Daerah dan wakilnya harus sama-sama menjaga
hubungan yang baik dan perlu menjaga dan meluruskan niat bersama untuk mengabdi
pada masyarakat. Ajakan saya ini terkesan klise, namun sejatinya itulah yang
harus dikerjakan pemimpin yaitu mengabdi kepada rakyat," bebernya.
KEPALA DAERAH DIMINTA TIDAK OTORITER
Topik tentang optimalisasi pelaksanaan tugas, wewenang,
kewajiban dan hak kepala daerah memang jadi materi utama yang disampaikan
Mendagri dalam pembekalan kali ini. Mantan Kapolri ini menekankan salah satu
poin penting soal perlunya hubungan yang harus dijaga.
“Intinya kepala daerah dan wakilnya harus sama-sama
menjaga hubungan yang baik dan perlu menjaga dan meluruskan niat bersama untuk
mengabdi pada masyarakat. Ajakan saya ini terkesan klise, namun sejatinya
itulah yang harus dikerjakan pemimpin yaitu mengabdi kepada rakyat,” tutur Mendagri
Tito Karnavian.
Ia juga menyampaikan soal aturan perundang-undangan dan
ketentuan lainnya yang mendasari kerja-kerja kepala daerah agar tidak memimpin
suatu daerah secara otoriter. “Menjadi kepala daerah itu tidak serta merta
bertindak sesuka hati, atau tidak mau menerima masukan dari orang lain. Penting
diingat, ada aturan yang mengatur setiap kebijakan yang dilakukan kepala
daerah,” pesannya.
Sikap otoriter memang diakui Tito jadi salah satu pemicu
renggangnya hubungan para pemimpin daerah. Kondisi ini bahkan diakuinya
banyak sekali dijumpai di suatu daerah tertentu.
“Intinya kalau ingin sistem pemerintahan daerah berjalan
baik maka jagalah keharmonisan dan sinergitas baik di internal jajaran maupun
eksternal. Itu kunci penting dalam sistem pemerintahan,” tandasnya.
Tito juga menjelaskan dalam pandemi saat ini butuh
kepemimpinan yang tangguh dari daerah. Pemulihan ekonomi menjadi isu penting
yang perlu disikapi dari sisi realisasi belanja daerah. Kemudian dia pun
memberikan arahan.
Tidak hanya itu, dia meminta agar kepala daerah
mengurangi belanja untuk kepentingan aparatur seperti biaya rapat, perjalanan
dinas, konsumsi mengingat penerapan teknologi di dalam penyelenggaraan
rapat-rapat aparatur. Kemudian memperbanyak belanja yang manfaatnya langsung
dirasakan masyarakat dan terakhir atur ritme belanja setahun dengan baik
sehingga tidak menumpuk dibelanjakan di akhir tahun.
Adapun penegasan ini disampaikan Mendagri dihadapan 183
kepala daerah beserta wakilnya saat acara Pembekalan Kepala Daerah yang
diselenggarakan oleh BPSDM Kemendagri secara virtual.(tmp/rpbk)
Komentar