Foto: Ketua DPRD Sulut Fransiscus Andi Silangen saat mengunjungi Kementerian ESDM
Silangen Cs Pilih Kelestarian Lingkungan Pulau Sangihe
Deprov Tolak Opsi Memperkecil Wilayah Tambang PT TMS
Manado, MS
Seruan masyarakat yang menolak keberadaan PT
Tambang Mas Sangihe (TMS) terus dikawal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Sulawesi Utara (Sulut). Upaya tersebut dilakukan dengan kembali mengunjungi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia (RI). Para
wakil rakyat Gedung Cengkih tidak menyetujui solusi yang hanya menciutkan
wilayah ekploitasi perusahaan tersebut.
Kedatangan rombongan DPRD Sulut, Kementerian ESDM
di Jakarta, dipimpin langsung Ketua DPRD Sulut Fransiscus Andi Silangen, Jumat
(3/12). Kunjungan kerja itu dalam rangka Koordinasi dan Konsultasi terkait
Pertambangan di Sulut khususnya polemik PT TMS. Para anggota dewan bumi Nyiur
Melambai ini diterima Ir Sugeng Mujiyanto MSc, M.Env.Eng.Sc, Direktur Pembinaan
Pengusahaan Mineral dan Dr Lana Saria, SSi MSi, Direktur Teknik dan Lingkungan
Mineral dan Batubara.
Ketika itu para anggota dewan yang hadir
menyentil ke pihak Kementerian ESDM tentang aturan yang ada. Dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014
menyatakan bahwa pulau-pulau dengan luas daratan kurang dari 2.000 Km2
dikategorikan sebagai pulau kecil dan tidak boleh ditambang. Sedangkan pulau
Sangihe hanya berukuran 736 Km2. DPRD Provinsi Sulut mempertanyakan terbitnya
izin SK Produksi bernomor 163.K/MB.04/DJB/2021 yang ditandatangani Direktur
Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM.
UU Nomor 1 Tahun 2014 mengatur pemanfaatan
pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk 9 jenis
kepentingan yakni konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan
pengembangan, budi daya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta
industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan dan pertahanan
dan keamanan negara.
"PT TMS dinilai melanggar Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 39 yang
mewajibkan perusahaan memiliki keputusan kelayakan lingkungan hidup (KKLH).
Dengan terbit izin tanpa pertimbangan kelayakan lingkungan, praktis
bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU 39/1999 tentang HAM (hak asasi manusia).
Konsesi perusahaan yang disebutkan dalam gugatan juga dinilai terbit untuk
wilayah yang dilarang UU 1/2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Juga Pulau Sangihe ini salah satu pulau kecil yang juga
mempunyai kerentanan terhadap bencana alam," ungkap Anggota DPRD Sulut,
Melky Jakhin Pangemanan yang hadir saat itu, menjelaskan konsultasi mereka di
Kementerian ESDM RI.
Dalam konsultasi itu para anggota dewan
mendapatkan penjelasan dari pihak Kementerian ESDM bahwa PT TMS merupakan
perusahaan pemegang Kontrak Karya generasi 6 dan telah melakukan kegiatan
eksplorasi sejak tahun 1997. PT TMS memiliki Wilayah Kontrak Karya (WKK) seluas
42.000 hektare (ha). Luas wilayah KK PT TMS awalnya 123.850 ha, dalam rangka
amandemen KK pada 5 Juni 2018, PT TMS diciutkan wilayahnya menjadi 42.000 ha.
"Berdasarkan izin lingkungan yang diberikan oleh Provinsi Sulawesi Utara
tahun 2020, lokasi kontrak PT TMS seluas 42.000 ha, sedangkan yang akan
digunakan untuk kegiatan penambangan adalah seluas 65,48 ha," ungkap Melky
menjelaskan penyampaian ESDM.
Kementerian ESDM saat itu menyebutkan, mereka sudah bertindak sesuai dengan
ketentuan perundangan-undangan yang ada. Termasuk menghormati kontrak karya
yang telah ditandatangani. PT TMS juga
telah memperoleh persetujuan Keputusan Kelayakan Lingkungan dari Pemerintah
Provinsi Sulut pada 25 September 2020. Dalam izin lingkungan itu, dalam waktu
jangka pendek kegiatan usaha pertambangan yang diperbolehkan hanya seluas 65,48
ha dari total luas wilayah KK PT TMS seluas 42.000 ha. Adapun, pemerintah saat
ini melakukan evaluasi luasan wilayah KK PT TMS seluas 42.000 ha tersebut.
"Dari penjelasan kementerian, sedang
dipertimbangkan luas wilayah tersebut diciutkan menjadi 25.000 ha. Dari
total wilayah PT TMS yang memiliki prospek untuk ditambang adalah seluas 4.500
ha. Saat ini, dokumen feasibility study yang sudah masuk ke Kementerian ESDM
baru untuk wilayah prospek Bawone sebesar 200 ha dan Binabase sebesar 300
ha," jelas Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Solidaritas Indonesia
(PSI) Sulut itu.
Selain itu perusahaan PT TMS disebut, telah
memperoleh persetujuan tekno-ekonomi atas dokumen studi kelayakan dari Ditjen
Minerba berdasarkan persetujuan tekno-ekonomi dan persetujuan lingkungan dari
Pemerintah Provinsi Sulut. PT TMS telah meningkatkan tahap menjadi tahap
operasi produksi pada 29 Januari 2021. "PT TMS telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan
dalam melaksanakan kegiatan usaha pertambangan, utamanya dalam bentuk KK dan
persetujuan lingkungan," urai Melky.
Dari apa yang dijelaskan Kementerian ESDM, pihak
DPRD Sulut pun berikan respon. Solusi memperkecil wilayah tambang PT TMS kurang
disetujui. "DPRD Provinsi Sulut memandang, opsi penciutan wilayah bukanlah
solusi. Untuk itu, diharapkan agar Kementerian ESDM mengevaluasi dan melakukan
peninjauan kembali Izin Usaha Pertambangan PT Tambang Mas Sangihe yang telah
diterbitkan," tegas anggota dewan provinsi (Deprov) yang duduk di Komisi
IV DPRD Sulut itu.
Wakil Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah
(Bapemperda) tersebut juga menegaskan, dari dewan menilai kegiatan pertambangan
yang dilakukan juga mengancam kelestarian hutan dan spesies endemik setempat.
"Masih ada pilihan lain untuk memajukan ekonomi masyarakat Sangihe di luar
opsi pertambangan. Banyak potensi ekonomi lain yang lebih berkelanjutan dan
ramah lingkungan yang dapat mensejahterakan rakyat. Pulau sangihe adalah milik
kita semua warga Sulawesi Utara dan Indonesia. Setiap kebijakan yang diambil
harus mempertimbangkan hak-hak hidup rakyat," kuncinya. (arfin tompodung)
Komentar