"KEWAJIBAN MEMAKAI TOGA BAGI PENEGAK HUKUM DALAM PERSIDANGAN"


Oleh : Sofyan Jimmy Yosadi, SH.

 

Advokat PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) & AAI (Asosiasi Advokat Indonesia), Wakil Ketua Umum IFLC (Indonesian Feminist Lawyers Club).

"Negara Republik Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat)", tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat). Penegasan ini dinyatakan dengan tegas dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu ciri utama Negara Hukum adalah ketaatan masyarakat dan para penegak hukum berdasarkan pada peraturan-peraturan hukum. Maka menjadi penting adalah penegakan hukum (Law enforcement) demi tegaknya keadilan.

Penegak Hukum adalah Hakim, Jaksa Polisi dan Advokat. Penegasan tentang Penegak Hukum tersebut diatur dalam beberapa ketentuan Undang-Undang.

"Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat’. Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman. Rumusan ini tidak mengalami perubahan dalam UU No. 35 Tahun 1999 jo UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa "Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai Penuntut Umum".

(Undang-Undang tentang Kejaksaan : UU No. 16 Tahun 2004, 

Undang-Undang No. 5 Tahun 1991, dan Undang-Undang No.15 Tahun 1961).

Polisi adalah Aparat Penegak hukum, dalam perannya secara umum dikenal sebagai pemelihara Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) dan aparat penegak hukum dalam proses pidana.

“Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi Pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia). Selanjutnya, tugas Polisi sebagai aparat Penegak Hukum diatur kewenangannya lebih lanjut dan dibatasi oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Adapun status Penegak Hukum bagi Advokat ditegaskan dalam UU Advokat. "Advokat berstatus sebagai Penegak Hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan" Pasal 5 UU No. 8 Tahun 2003 tentang Advokat.

Persidangan kasus perkara pidana di Pengadilan Jakarta Utara dengan  terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis (keduanya anggota Polri) yang didakwa telah melakukan perbuatan pidana terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, sangat menarik perhatian publik. Kasus yang penuh drama saat penyelidikan hingga penyidikan tersebut, berlanjut hingga proses pengadilan. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap para terdakwa memunculkan polemik dan debat hukum. Hal lain yang menarik perhatian para penegak hukum adalah kehadiran anggota polisi aktif yang memakai Toga Advokat dan duduk sebagai Penasehat Hukum para Terdakwa.

 

Dasar hukum yang dipakai para anggota Polri yang duduk sebagai Penasehat Hukum adalah Peraturan Kapolri No. 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. "Bantuan Hukum adalah segala usaha, upaya, kegiatan dalam rangka membantu menyelesaikan permasalahan hukum melalui peradilan maupun di luar peradilan" (Pasal 1 angka 3 Peraturan Kapolri No. 2 Tahun 2017).

 

Selanjutnya diatur ruang lingkup tentang Bantuan Hukum, yakni :

(1) Penasihat Hukum / Kuasa Hukum melaksanakan Bantuan

Hukum pada :

a. tingkat penyidikan ;

b. tingkat penuntutan ; dan/atau

c. semua tingkat peradilan.

(2) Penasihat Hukum / Kuasa Hukum sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) berlatar belakang Sarjana Hukum. (Pasal 8 angka 1 dan 2 Peraturan Kapolri No. 2 Tahun 2017).

 

Khusus pemberian bantuan hukum dalam perkara Pidana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Kapolri No. 2 Tahun 2017, yakni :

Pemberian Bantuan Hukum dalam perkara pidana meliput:

a. mendampingi tersangka / terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan ;

b. membuat eksepsi / tanggapan, pledoi, dan duplik ;

c. mengajukan permohonan penangguhan atau pengalihan penahanan ;

d. mengajukan saksi yang meringankan (a de charge) dan

ahli ;

e. menentukan sikap atas putusan, yaitu menerima atau melakukan upaya hukum ;

f. membuat memori banding / kontra memori banding, memori kasasi / kontra memori kasasi ;

g. melakukan upaya hukum luar biasa dan membuat memori peninjauan kembali ; dan / atau

h. mengajukan permohonan grasi, amnesti, dan rehabilitasi.

 

Dalam Proses Peradilan Pidana, telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 230 ayat (2) :

"Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasehat hukum dan panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut masing-masing".

Yang kemudian menjadi polemik dan menarik perhatian banyak pihak termasuk Para Praktisi Hukum dan Pakar hukum adalah Penasehat Hukum dari unsur Polri memakai Toga Advokat. Dalam Peraturan Kapolri No. 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, tidak diatur petunjuk atribut terutama pemakaian Toga bagi Penasehat Hukum dari unsur Polri.

Bab III Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana :

(1) Selama pemeriksaan dalam Sidang pengadilan, hakim, penuntut umum, panitera dan penasehat hukum, menggunakan pakaian sebagaimana diatur dalam pasal ini.

(2) Pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi hakim, penuntut umum dan penasehat hukum adalah toga berwarna hitam, dengan lengan lebar, simare dan bef dengan atau tanpa peci hitam.

(3). Perbedaan toga bagi hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum adalah dalam ukuran dan warna dari simare dan bef. (Pasal 4 PP No. 27 Tahun 1983 Jo. PP No. 58 Tahun 2010 Jo. PP No. 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan KUHAP).

Bagi seorang Advokat yang menjalankan tugas Profesinya dalam persidangan Perkara Pidana, sebagai Penasehat Hukum wajib mengenakan atribut Toga Advokat. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 25 UU No. 18 Tahun 2013 : "Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib menggunakan atribut sesuai dengan peraturan perundang-undangan".

Selain memakai Toga Advokat, dalam prakteknya sebagai Penasehat Hukum dalam proses Perkara Pidana, kewajibannya sebagai Penasehat Hukum dimintakan Majelis Hakim selain surat kuasa juga Kartu Advokat dan Berita Acara Sumpah (BAS). Pemakaian Toga Advokat juga dilakukan saat seseorang diambil Sumpah sebagai Advokat. Maka Toga Advokat bagi seorang Advokat bukan hanya sekedar atribut tapi pakaian resmi kebanggaan sebagai Penegak Hukum dalam menjalankan Tugas profesi yang sangat Mulia & Terhormat "Officium Nobile" sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Advokat.

Dalam Praktek persidangan, Majelis Hakim sangat ketat memeriksa segala kelengkapan Advokat sebagai Penasehat Hukum yang akan bersidang di Pengadilan baik Surat Kuasa, Berita Acara Sumpah hingga Kartu Advokat. Menjadi pertanyaan, apakah perlakuan yang sama dilakukan kepada seorang Penasehat Hukum dari unsur Polri ?

Bagi seorang Advokat tidak diperkenankan merangkap jabatan. Hal ini dipertegas dalam Pasal 20 UU No. 18 Tahun 2013 :

(1). Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat Profesinya.

(2). Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas Profesinya.

(3). Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut.

 

Maka, jelas Advokat tidak bisa menjadi  penyidik atau penuntut umum karena ketentuan Undang-Undang dan Profesi Advokat lebih kepada sikap menjadi "Pembela" bukan penyidik atau penutut umum.

Demikian pula, Jaksa sebagai Penegak Hukum dilarang merangkap jabatan sebagai Advokat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 11 ayat 1 (b) UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia :

"Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini, jaksa dilarang merangkap menjadi advokat".  Penegasan lebih lanjut :

"Jaksa Agung dilarang merangkap menjadi Advokat" UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 21 (b).

Maka, kerancuan dalam penerapan hukum pada praktek persidangan perkara Pidana dimana anggota Polri yang menjadi Penasehat Hukum dengan mengenakan atribut Toga Advokat perlu diatur lebih lanjut dan tegas dalam peraturan hukum.

Bagi saya sebagai Advokat, tidak mempermasalahkan anggota Polri menjadi Penasehat Hukum sebagaimana halnya diatur dalam Peraturan Kapolri No. 2 Tahun 2017. Namun, dalam praktek persidangan perkara pidana, penasehat hukum dari unsur Polri tidak etis mengenakan atribut Toga Advokat sebagaimana terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan  terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis (keduanya anggota Polri) yang didakwa telah melakukan perbuatan pidana terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Karena jelas dasar hukum bagi setiap Penegak Hukum baik Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat berkaitan dengan atribut persidangan perkara pidana di pengadilan.

Selebihnya, pemberlakuan khusus penasehat hukum kepada anggota Polri perlu pendalaman hukum dan aturan terbaru untuk mengisi ‘kekosongan hukum’ dalam praktek persidangan berkaitan dengan penggunaan atribut Toga Advokat sebagaimana telah dilakukan di Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Peran Organisasi Advokat (OA) untuk mendorong dan meluruskan hal ini, terutama berkoordinasi dengan Kapolri juga mendiskusikan lebih jauh untuk mengajukan Judicial Review di Mahkamah Agung terhadap Peraturan Kapolri No. 2 Tahun 2017 dan / atau mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan Pengertian Penasehat Hukum.

INDE DATAE LEGES BE FORTIOR OMNIA POSSET (Law were made lest the stronger should have unlimited power) "Hukum dibuat, jika tidak maka orang yang kuat akan mempunyai kekuasaan tidak terbatas". (*)


Komentar


Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting