Petani Terancam, Pemerintah Didesak Proteksi

Korporasi Kian Getol Kembangkan Cengkih di Sulut


Manado, MS

 

Ekspansi perusahaan raksasa rokok di bumi Nyiur Melambai diendus. Gerak pengembangan cengkih yang getol dilakukan memantik reaksi publik. Pemerintah didesak bertindak. Upaya memproteksi kian mengguritanya pembelian lahan-lahan cengkih ‘dipecut’.

 

Desakan itu deras mengalir dari Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI). Pemerintah diharapkan mengambil langkah antisipatif. Melakukan pengawasan terhadap perluasan lahan-lahan cengkih perusahaan-perusahaan. 

 

“Kalau perusahaan rokok mulai melakukan penanaman cengkih sendiri, itu bukan baru sekarang tapi sudah sejak lama. Makanya hal ini harus diawasi oleh pemerintah,” tegas Wakil Ketua APCI Sulut, Paul Sembel, Rabu (26/6).   

 

Pemerintah diharapkan tidak memberikan peluang dengan izin-izin seluas-luasnya. Apalagi bila sudah berhektare-hektare yang telah dikembangkan para korporasi ini. “Jangan diberi peluang apalagi izin pemilikan lahan berhektar-hektar oleh perusahaan rokok atau kaki tangannya,” sorotnya.

 

Diketahui sebelumnya, dalam pembahasan masalah cengkih di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulut, terungkap kurang lebih dua perusahaan rokok yang mulai melakukan pengembangan lahan cengkih di Sulut. 

 

“Komitmen Gudang Garam kami belum tahu (terkait membeli cengkih rakyat dengan harga di atas, red) karena dimana-mana mereka sudah ada lahan pengembangan cengkih. Di Tondano juga dia ada sekitar 20 ribu (pohon, red). Dji Sam Soe juga (sudah melakukan pengembangan cengkih, red), Sampoerna juga dimana-mana sudah ada kebun cengkih,” terang Kepala Dinas Perkebunan Sulut, Refly Ngantung dalam pembahasan di ruang rapat Komisi II DPRD Sulut, Selasa (25/6).

 

Khusus di Sulut, perusahaan yang sudah pasti telah melakukan penanaman cengkih yakni Gudang Garam dan Sampoerna. Mereka membuka lahannya di Kabupaten Minahasa, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel). “Yang belum ada (pengembangan lahan cengkih, red) memang Djarum. Makanya mereka berani patok bisa beli semua. Cuma 15 ribu ton kan. Dia (Djarum, red) kebutuhan 5 ribu ton per bulan,” beber Ngantung.

 

Anggota DPRD Sulut menilai, masalah tersebut dipandang bisa mengancam eksistensi petani cengkih. Ketua Komisi II, Cindy Wurangian meminta untuk perlu diantisipasi pabrikan rokok yang sudah memiliki lahan di Sulut. Hal itu karena dalam beberapa tahun ke depan, ketika mereka sudah punya cengkih sendiri, profesi petani nanti akan mati. “Karena mereka pasti tidak lagi membeli kepada petani. Masalahnya mereka sudah punya lahan sendiri. Untung masih ada Djarum. Tapi tidak menutup kemungkinan nanti Djarum juga melakukan pengembangan. Nanti ketika dipanggil mereka tidak mau datang karena mereka sudah punya cengkih sendiri. Itu pasti tidak akan terjadi jika ada aturan yang membatasi,” tegas Wurangian.  (arfin tompodung)


Komentar


Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting