Foto: Warga Tatelu Rondor menyampaikan aspirasi lewat kertas besar yang bertuliskan tuntutan dan kekecewaan terhadap proses ganti untung pembebasan lahan jalan Bandara-KEK Likupang yang dinilai syarat dengan permainan oknum-oknum tertentu.
Warga Tuntut Keadilan, Panitia Pembebasan Lahan Bandara-KEK Likupang ‘Diserang’
Airmadidi, MS
Masyarakat yang terdampak pembangunan mega proyek pelebaran jalan dengan rute Bandara Sam Ratulangi-Likupang tak semulus yang dibayangkan.
Praktis, program pemerintah yang bertujuan menunjang infrastruktur Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang di Kabupaten Minahasa Utara (Minut) itu disinyalir bakal menuai hambatan.
Sejumlah masyarakat yang berhak menerima ganti untung pembebasan lahan justru sampai sekarang mempertanyakan, bahkan hal ini sudah diadukan ke Legislator Sulut Henry Walukow yang merupakan personil Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulut.
Setelah konferensi pers yang digelar sejumlah warga Desa Tatelu Rondor, Kecamatan Dimembe, Jumat (10/3/2023) di salah satu rumah yang menjadi lokasi pelebaran jalan tersebut. Warga pun terlihat sangat geram dengan dugaan kongkalingkong pihak terkait yakni panitia pembebasan lahan.
Walukow kepada awak media mengatakan, dirinya turut prihatin dengan kinerja panitia pembebasan lahan Bandara-Likupang sebagai penunjang KEK khususnya yang berada di Desa Tatelu Rondor. Ia melihat begitu lambatnya kerja panitia yang notabene kontraproduktif dengan semangat kerja cepat dan tanggap Presiden RI Joko Widodo, kerja cepat Gubernur Olly Dondokambey dan Wakil Gubernur Steven Kandouw serta Bupati dan Wakil Bupati Minut Joune Ganda-Kevin W Lotulung.
"Mirisnya sejak tahun lalu sudah ada 30 dokumen lengkap milik warga lengkap tapi yang direalisasikan baru separuh. Ini menandakan ketidakmampuan panitia yang ada. Dan ini sangat memprihatinkan. Padahal program pemerintah ini menjadi salah satu percepatan infrastruktur penunjang KEK Likupang serta destinasi pariwisata super prioritas. Masalah ini akan menjadi atensi saya terhadap kinerja panitia dan pada hari ini juga akan saya sampaikan di paripurna DPRD Provinsi. Jika perlu hingga ke pemerintah pusat," tandas Walukow sembari menegaskan akan mengawal masalah ini sampai tuntas.

Sementara itu, perwakilan warga pemilik lahan Telly Supit mengatakan, ada beberapa poin yang menjadi tuntutan pemilik hak secara resmi terhadap permasalahan pembebasan lahan jalan Bandara-Likupang ini. Dirinya menguraikan diantaranya keterlambatan pembayaran atau pengulur-uluran waktu dari pihak panitia, keterangan dari pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Minahasa Utara. Kemudian pihaknya menuntut pengukuran kembali lahan yang sesuai janji akan dilakukan sejak Januari 2023 namun hingga Maret 2023 belum ada tindak lanjut.
Tak hanya itu ada juga 10 bidang lahan yang belum terdata, ada beberapa pihak yang sudah terbodohi dengan janji dari panitia pelebaran jalan. Kemudian ada pemilik lahan karena harus memenuhi syarat dari panitia untuk memasukan sertifikat dengan alasan akan divalidasi terpaksa meminjam dana dari rentenir yang menggunakan bunga sejak Desember 2022 hingga kini tidak ada tindak lanjut. “Kami juga menuntut wan prestasi pihak panitia karena melanggar undang-undang cipta karya, dimana diatur setelah pemberitahuan harga dari panitia kepada pemilik lahan dan terdapat ketidak persetujuan, maka dalam 30 hari kerja dilakukan musyawarah. Namun, hingga kini tidak dilakukan,” tegas Supit bersama para warga.
Lanjutnya, yang paling disayangkan dari pemilik lahan adanya intimidasi dari pihak panitia, bahwa jika ada yang pemilik yang keberatan dan belum diukur serta lain sebagainya terkait kelengkapan persyaratan maka panitia akan menitip dana ganti rugi tersebut ke pihak Pengadilan Negeri. Tentunya hal itu bertabrakan dengan prosedur dan regulasi yang sebenarnya. Menurutnya, warga berhak mempertahankan aset jika harganya tidak sesuai dan tidak diukur.
“Kami merasa tindakan membawa hal ini ke ranah pengadilan adalah sebuah bentuk pengancaman terhadap pemilik lahan. Dengan adanya intimidasi ini warga merasa ketakutan karena berpikir harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Yang paling parah adalah ketidakadilan dari tim appreseal ketika saat melakukan pengukuran didapati tidak sesuai ukuran bidang yang ada. Dan hingga saat ini tidak adanya klarifikasi atau rekonsiderasi kembali hasil-hasil penghitungan itu. Terkait ini kami menuntut dilakukannya pengukuran kembali sejak awal terhadap bidang-bidang tanah milik warga tersebut,” sorotnya.
Salah satu pemilik lahan warga Tatelu Rondor Arnold Kaunang mengatakan, saya sudah mencabut berkas. Dirinya merasa tidak mau menerima terhadap hitungan yang diberikan panitia, padahal secara sepihak ada ukuran tanah sekitar 10 meter yang dipotong. “Kami seperti dibodohi oleh panitia yang seperti memaksa harus ikut yang sudah ditetapkan,” jelasnya.
Senada diutarakan warga Cesilia Selvi. Menurutnya, awalnya pada tanggal 16 Desember 2022 sejumlah warga diajak untuk musyawarah menentukan harga, tapi bukannya jadi musyawarah pihak panitia sudah menetapkan harga padahal ini belum ada kesepakatan dari pihak pemilik lahan. “Kalau kami tidak setuju diarahkan ke pengadilan, bukannya musyawarah soal harga tapi kami masyarakat sudah dipaksa untuk mengiyakan hasil penetapan dari panitia, dan ini yang kami keberatan harusnya panitia memperhatikan kondisi saat ini dimana sudah ada kenaikan dan itu harus dimusyawarahkan lagi,” tegas Cesilia. (kiky)







































Komentar