BADAI KEMBALI TERPA JOKOWI


Jakarta, MS

 

Angin kencang kembali menggoyang bahtera kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Belum habis persoalan pandemi Covid-19, kini pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) picu penolakan publik. Gaung mosi tidak percaya ke pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun mengencang. Gelombang aksi unjuk rasa kans terjadi.

 

DPR Republik Indonesia (RI) telah resmi mengesahkan RUU Ciptaker menjadi Undang-Undang (UU). Persetujuan diambil dalam Rapat Paripurna Masa Sidang IV tahun sidang 2020-2021 yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10). Rapat tersebut dipimpin Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin. Ada tujuh fraksi yang menyetujui RUU ini dibahas pada tingkat selanjutnya. Didalamnya yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).  Sementara dua fraksi menyampaikan penolakan pengesahan RUU itu ialah Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

 

Di hari pengesahan RUU Ciptaker, massa demonstran melakukan aksi penolakan keras terhadap aturan tersebut, di depan halaman kantor DPR RI. Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat menyatakan mosi tidak percaya pada pemerintah dan DPR RI. "Rakyat menuntut hentikan pembahasan dan batalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Pemerintah dan Parlemen telah melakukan pengkhianatan kepada rakyat dan konstitusi," kata juru kampanye Greenpeace Indonesia, Asep Komaruddin, dalam keterangan tertulis, kemarin.

 

Ia menilai pemerintah dan DPR keras kepala karena ngotot mengesahkan RUU ini di saat rakyat dilanda kesusahan besar akibat pandemi virus corona (Covid-19) dan resesi ekonomi. "Menunjukkan pemerintah dan DPR telah menjadi antek penjajahan investor jahat dan koruptor," ucap dia.

 

Kecaman dilontarkan FRI kepada pemerintah dan aparat yang diduga memperkarakan hukum kepada sejumlah buruh dan warga yang menolak RUU Ciptaker atau berencana mogok kerja. "FRI mengingatkan bahwa berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat dijamin oleh konstitusi, sehingga tidak boleh dihapuskan oleh niat jahat pemerintah dan DPR mengesahkan RUU Cipta Kerja yang hanya akan menghadirkan penjajahan gaya baru," kata Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati.

 

FRI mengajak masyarakat untuk terus menyuarakan dan memperluas mosi tidak percaya kepada pemerintah dan DPR ini. Mereka mendorong masyarakat untuk mendukung aksi mogok massal buruh. "Lakukan aksi-aksi baik di dunia maya maupun dunia nyata untuk menggagalkan Omnibus Law dengan segala cara, lewat segala media," ujar Asep.

 

Seruan yang sama menggema dari Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang menolak pengesahan RUU Omnibus Law Ciptaker. BEM SI juga menyuarakan mosi tidak percaya terhadap pemerintahan Presiden Jokowi dan DPR. "Kami Aliansi BEM Se-Indonesia menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah dan seluruh wakil rakyat Indonesia," kata Koordinator Pusat BEM SI 2020, Remy Hastian, kemarin.

 

Dia menilai semangat reformasi telah dicederai lewat rencana pengesahan RUU Omnibus Law oleh DPR. Pengesahan RUU itu berpotensi mengorbankan banyak hal. Dalam mosi tersebut menyebutkan, pemerintah dan wakil rakyat Indonesia telah gagal dalam mengelola negara sesuai dengan amanat amandemen Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke empat. Itu dibuktikan dengan tingginya tingkat kesenjangan sosial di antara masyarakat, tidak diutamakannya pendidikan dan lemahnya sektor kesehatan. Selanjutnya, pemerintah dan wakil rakyat Indonesia dinilai telah menindas hak-hak rakyat dalam bersuara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3. Dibuktikan dengan masih begitu banyaknya kriminalisasi terhadap aktivis dan masyarakat dalam bersuara.

 

Pemerintah dan Wakil Rakyat Indonesia pula disebut telah gagal menjaga hak-hak hidup rakyat dan lingkungan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat 1 UUD 1945. Dibuktikan dengan disahkannya berbagai RUU bermasalah dan dilanjutkannya pembahasan RUU Ciptaker yang merampas hak hidup rakyat dan lingkungan. Berdasarkan sejumlah poin tersebut maka BEM SI menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah dan DPR.

 

DEMOKRAT-PKS MENOLAK, SEBUT TERLALU KAPITALISTIK

 

Alasan Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS menolak RUU Ciptaker dibeber. Dasar ketidaksetujuan keduanya karena minimnya keterlibatan masyarakat dalam penggodokan aturan tersebut. Regulasi ini pun dipandang lebih berat kepada kepentingan kapitalis.

 

Fraksi Demokrat menilai RUU Ciptaker cacat prosedur karena tidak melibatkan banyak elemen masyarakat dalam pembahasannya. Penolakan tersebut disampaikan Fraksi Demokrat dalam rapat paripurna yang digelar di kompleks DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Pandangan Fraksi Demokrat disampaikan Marwan Cik Asan. Ada sejumlah pertimbangan diungkapkan, salah satunya Demokrat menilai RUU Cipta Kerja telah mencerminkan pergeseran semangat Pancasila. "Keempat, Fraksi Partai Demokrat memandang RUU Cipta Kerja mencerminkan RUU ini telah mencerminkan bergesernya Pancasila, utamanya sila Keadilan Sosial ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan terlalu liberalistik," kata Marwan dalam rapat.

 

Selain itu, Fraksi Demokrat menilai proses pembahasan RUU Ciptaker kurang transparan. Sebab, sebut Marwan, pembahasannya tidak banyak elemen masyarakat yang ikut di dalamnya. "Kelima, selain cacat substansi, RUU Cipta Kerja ini juga cacat prosedur. Fraksi Partai Demokrat menilai proses pembahasan hal-hal yang krusial dalam RUU Cipta Kerja ini kurang transparan dan akuntabel, tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja dan jaringan civil society," terangnya.

 

Pertimbangan itulah yang menjadi dasar Demokrat menolak RUU Ciptaker. Fraksi partai berlambang mirip mercy itu menyarankan agar RUU Ciptaker dibahas kembali. "Berdasarkan argumentasi di atas, maka Fraksi Partai Demokrat kembali menyatakan menolak RUU Cipta Kerja pada sore hari ini (kemarin, red). Kami menilai banyak sekali hal yang harus dibahas kembali secara mendalam dan komprehensif. Kita tidak perlu terburu-buru," sebut Marwan.

 

Fraksi PKS menambah daftar fraksi di DPR RI yang menolak RUU Ciptaker disahkan menjadi UU. Penolakan Fraksi PKS didasari sejumlah penilaian, salah satunya mereka menilai RUU Ciptaker substansi liberalisasi sumber daya alam. "Secara substansi Fraksi PKS menilai sejumlah ketentuan dalam RUU Cipta Kerja masih memuat substansi yang bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang kita sepakati pada amandemen konstitusi, di antara ketentuan. Kebijakan dalam RUU Cipta Kerja yang memuat substansi liberalisasi sumber daya alam yang dapat mengancam kedaulatan negara melalui pemberian kemudahan kepada pihak swasta," kata anggota Fraksi PKS, Amin Ak, dalam rapat paripurna di gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.

 

Selain itu, Fraksi PKS menilai pasal-pasal dalam RUU Ciptaker lebih menguntungkan pengusaha. Partai berlambang bulan sabit kembar dan padi itu menyoroti pasal yang mengatur pesangon. "RUU Cipta Kerja memuat substansi pengaturan yang merugikan pekerja atau buruh Indonesia melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha. Hal ini tercermin dari perubahan pasal-pasal yang berkaitan dengan hubungan kerja dan pesangon," sebut Amin.

 

Karena itu, sebut Amin, Fraksi PKS menolak RUU Ciptaker disahkan menjadi UU. "Dengan memperhatikan itu semua, maka Fraksi PKS menyatakan menolak RUU tentang Cipta Kerja untuk ditetapkan sebagai UU," jelasnya.

 

AZIS: CIPTA KERJA KEGENTINGAN DI MASA PANDEMI

 

Narasi miring publik terhadap RUU Ciptaker ditepis Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin. Pengesahan aturan ini dinilai karena kebutuhan kondisi dunia yang berada dalam kemelut pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

 

Azis menilai kontroversi dalam pembahasan omnibus law RUU Ciptaker merupakan dinamika yang biasa terjadi dalam demokrasi. Menurut dia, perdebatan dan perbedaan pendapat merupakan hal yang biasa saja di parlemen. "Bukan hanya RUU Cipta Kerja yang kerap menjadi pro dan kontra, banyak yang saling berbeda persepsi di antara fraksi DPR ataupun dengan pemerintah. Perbedaan persepsi dan perdebatan adalah dinamika dari negara demokrasi," kata Azis.

 

Salah satu yang kerap diperdebatkan adalah kluster ketenagakerjaan. Dalam kluster itu, poin yang diperdebatkan antara lain soal besaran pesangon dan upah minimum kabupaten kota (UMK). Azis menilai, RUU Ciptaker kluster ketenagakerjaan itu sebetulnya memiliki kemajuan dari sisi pengupahan, dengan UMK bisa lebih besar dari upah minimum provinsi. Disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan koefisiensi produktivitas. Namun, memang ada perubahan skema pesangon dalam kluster tersebut.

 

Menurut Azis, itu sebetulnya untuk menyesuaikan dengan kegentingan global yang terjadi di masa pandemi Covid-19. Para pelaku usaha di dunia mengalami gejolak ekonomi yang cukup terpuruk karena adanya Covid-19 yang terjadi di berbagai belahan dunia. Akibatnya banyak pelaku usaha yang menjerit bahkan sampai ada yang bangkrut.

 

"Tentunya kita harus melihat dari berbagai sudut pandang yang ada, perubahan skala pesangon 19 kali gaji ditambah Jaminan Kehilangan Pekerjaan sebanyak 6 kali yang dilakukan pengelolaannya oleh Pemerintah melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan dengan perhitungan dan melihat kondisi pandemi saat ini tentunya," kata Azis.

 

Karena itu, politikus Golkar itu berharap para buruh dapat mengerti dan memahami kondisi tersebut. Jangan sampai, kata Azis, pelaku usaha dan investor yang ingin bangkit setelah pandemi, kemudian memilih negara lain. Ini karena mereka menilai peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tumpang-tindih serta dapat menyulitkan mereka. "Kalau pengusaha pergi dan dipersulit di masa pandemi saat ini, maka akan berdampak cukup signifikan dan berimbas pada minimnya lapangan pekerjaan nantinya," ucap Azis.

 

Teranyar berhembus, aksi unjuk rasa kans terjadi lagi. Hal itu karena sebelumnya pada pekan lalu, disampaikan Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, aksi demo telah dirancang sebenarnya berlangsung tiga hari dari tanggal 6 hingga 8 Oktober 2020. Ini karena sebelumnya mereka beranggapan pengesahannya akan diketuk pada tanggal 8 Oktober. "Karena yang dirugikan dalam RUU Ciptaker alias Cilaka tidak hanya kaum buruh tapi mayoritas rakyat," kata Nining. (tempo/detik/cnn/republika)

 

 


Komentar

Populer Hari ini



Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting