POLEMIK RUU MINOL, SULUT PROTES


Manado, MS

Tensi Tanah Air kembali menanjak. Penggodokan Rancangan Undang-Undang (RUU) Minuman Beralkohol (Minol) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berbuntut berpolemik. Nada ‘protes’ bagi rancangan regulasi ini bersaut-sautan.

Aksi ‘mengggugat’ RUU itu bukan tanpa alasan. Publik beranggapan RUU Minol dapat berimbas pada munculnya persoalan baru di tengah masyarakat. Antara lain, berpotensi mengganggu iklim investasi di Indonesia, overkriminalisasi serta hilangnya mata pencarian masyarakat.

Kekhawatiran itu ditangkap sejumlah petani Captikus atau minuman beralkohol tradisional Minahasa di Sulawesi Utara (Sulut). Adalah petani Captikus asal Kelurahan Pondang, Amurang Timur, Marthen Sengkey. Dia mengaku kecewa dengan RUU Minol jika disahkan oleh pemerintah. Bagi dia, itu sangat berdampak pada mata pencairan yang selama ini menghidupi keluarga. Apalagi menurut dia, dalam kondisi pademi Covid-19 saat ini. "Jika larangan meminum ditetapkan pemerintah, kami sebagai petani Captikus harus bagaimana lagi untuk mencari makan. Kami saja hidup dari hasil pembuatan Captikus sudah puluhan tahun, dan dari hasil penjualan Captikus kami bisa sekolahkan anak kami," tegas Sengkey, Kamis (12/11).

Senada diungkapkan Jelly Sinaulan, petani Captikus asal Malola Kecamatan Kumelembuai yang sehari-hari juga menjadi penjual minuman tradisional asli Minahasa Selatan (Minsel) tersebut. Menurutnya, langka pemerintah untuk mengeluarkan undang-undang larangan meminum alkohol apa lagi minuman tradisional sangat merugikan petani Captikus. "Harusnya pemerintah memikirkan bagaimana petani Captikus bisa Sejaterah, bukan mengeluarkan UU yang justru mematikan mata pencairan kami para petani Captikus. Kami mohon agar pemerintah membatalkan UU yang bisa berdampak buruk pada petani tradisional Captikus khususnya yang ada di Kabupaten Minsel," pinta Sinaulan.

Sementara itu, salah satu pemerhati petani Captikus asal Minsel yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Minsel, Drs Robby Sangkoy MPD, menyayangkan usulan undang-undang terkait pelarangan konsumsi minuman beralkohol, apalagi Minsel merupakan salah satu kabupaten penghasil minuman tradisional Captikus yang selama ini menjadi minuman alkohol yang sangat dikenal luas di Indonesia. "Saya sangat sayangkan hal tersebut, karena pasti akan berdampak pada perekonomian masyarakat yang selama ini bergantung pada hasil Captikus. Apa lagi saat ini dunia dihadapi dengan Pandemi Covid-19," tegas Sangkoy.

Terpisah, anggota Komisi IV DPRD Sulut, Yusra Alhabsy menyampaikan, arah dari pembuatan Undang-Undang terkait sebenarnya bagus. Apabila itu kemudian berlaku dalam rangka meminimalisir angka kejahatan. "Tapi sepanjang UU tersebut tidak berdampak pada persoalan sosial. Perlu ada dalam batasan-batasan tertentu," ungkapnya.

Dampak ekonominya jika ditetapkan sebagai UU, baginya harus mempertimbangkan sisi ekonominya. Apalagi memang diakui kondisi masyarakat Sulut banyak yang merupakan petani captikus. Sudah banyak yang sukses sekolah dari hasil pertanian ini. "Kalau itu dibuat tentu tidak hanya sekedar aturan, efek sosialnya harus diperhatikan, harus dipertimbangkan secara matang formulanya seperti apa," ujarnya seraya mengakui, memang ini baru berupa rancangan dan belum menjadi UU.

Ditambah lagi, menurut dia, ketika RUU tersebut ditetapkan sebagai UU maka secara otomatis di daerah juga perlu menyesuaikan dengan membuat perturan daerah (perda). "Nah, harus dibuat perda dengan melihat kearifan lokal yang ada di Sulut. Jadi yang harus dilihat di sini sebenarnya adalah perda yang menyangkut perilaku keamanan," ucap anggota dewan Dapil Bolmong Raya ini.

Diketahui, pada 10 November lalu, Baleg DPR mengungkapkan mengenai Pembahasan RUU Larangan Minol yang diusulkan 21 orang dari fraksi PPP, PKS dan Gerindra. Tujuan dari disodorkannya RUU ini untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari minuman beralkohol. "Serta menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol. Selain itu untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari para peminum alkohol," terang Anggota Baleg DPR RI Fraksi PPP Illiza Sa’aduddin Djamal dalam rapat baleg, Selasa (10/11).

Menurut Illiza minuman beralkohol selama ini lebih banyak membawa dampak negatif daripada dampak positif terhadap kehidupan sosial dan bahkan ekonomi masyarakat. Ia memaparkan data WHO tahun 2011 yang mencatat bahwa ada sebanyak 2,5 juta orang yang meninggal akibat minuman beralkohol dan 9% di antaranya merupakan usia produktif. Di tahun 2014, data rata-rata kematian akibat minuman beralkohol meningkat menjadi 3,3 juta orang setiap tahunnya atau 5,9% dari semua jenis kematian.

 

PROKONTRA RUU MINOL

Arus pergunjingan RUU Minol meluas. Publik nasional maupun daerah mulai bereaksi menyikapi rancangan regulasi yang sementara digodok DPR.

Adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Mereka menilai RUU tentang Larangan Minol yang tengah digodok oleh DPR tak perlu dibuat. Pasalnya, menurut Anggota Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo, konsumsi masyarakat terhadap minol cukup dikendalikan saja. Namun, bentuk pengendalian tak cukup dengan mencantumkan kandungan alkohol, seperti yang selama ini sudah dilakukan.

"Akan lebih baik bila pengendalian bukan larangan. Pengendalian bisa dalam bentuk penambahan edukasi konsumen, tidak cukup hanya mencantumkan kandungan alkoholnya," ungkap Sudaryatmo, Rabu (21/9).

Sudaryatmo menambahkan, para pengusaha ritel dan industri minol perlu meningkatkan pengendalian konsumsi minol dengan memberikan edukasi yang berdampak bagi masyarakat. "Ritel harus menyediakan informasi kepada konsumen, terkait bahan yang digunakan, kandungannya, hingga dampak konsumsinya kepada masyarakat. Itu contoh edukasinya," jelasnya.

Adapun, edukasi tersebut dapat diberikan pemerintah dengan menggunakan dana hasil pengenaan cukai minol yang cukup tinggi besarannya, yakni mencapai Rp6 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017.

Bila DPR tetap bersikeras melakukan pelarangan, YLKI justru menantang DPR untuk sekaligus melakukan pelarangan terhadap tembakau. Pasalnya, minol dan tembakau sama-sama dikenakan cukai. "Alkohol dilarang tapi tembakau tidak, padahal keduanya dikenakan cukai, berani tidak DPR melarang tembakau juga?" tandasnya.

Sementara, Grup Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) memastikan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia. Executive Commitee GIMMI Ronny Titiheru memastikan, aturan yang belum jelas ini membuat tidak adanya kepastian hukum untuk menjamin minat investor di sektor industri minuman. "Mereka akan menganggap industri yang sudah 85 tahun saja bisa terancam tutup dengan RUU ini. Ini membuat investor akan berpikir lagi untuk investasi di kita," ujar Ronny.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mewaspadai potensi overkriminalisai yang mungkin terjadi andai RUU larangan minol menjadi undang-undang. Atas dasar itu, Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan perkumpulannya berpendapat RUU larangan minuman alkohol itu tak perlu dibahas DPR.

"Pendekatan pelarangan bagi minuman beralkohol dapat memberi dampak negatif bagi peradilan pidana di Indonesia," kata Erasmus dalam rilis ICJR, Rabu (11/11).

Erasmus mengatakan setelah membaca draf RUU larangan minol yang tersedia di situs DPR, pihaknya melihat bakal beleid tersebut berpendekatan prohibitionist atau larangan buta. "Dengan semangat prohibitionist atau larangan buta, hanya akan memberikan masalah besar, seperti apa yang negara Indonesia hadapi pada kebijakan narkotika," kata dia.

Membandingkan dengan bakal RUU Minol, Erasmus mengatakan seluruh bentuk penguasaan narkotika yang dilarang dalam UU justru membuat lebih dari 40.000 orang pengguna dikirim dan memenuhi penjara. Meskipun demikian, sambungnya, justru peredaran gelap narkotika di penjara tak terelakkan. "Negara pun telah membuktikan pendekatan keras terhadap narkotika tidak membuat jumlah penyalahgunaan narkotika berkurang," kata dia.

Di satu sisi, sambungnya, pengaturan tentang penggunaan alkohol yang membahayakan sejatinya sudah diatur dalam sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan. Ia mencontohkan Pasal 300 dan Pasal 492 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). "Pemerintah pun sudah lama mengeluarkan aturan pengendalian alkohol melalui Peraturan Menteri Perdagangan Indonesia No. 25 Tahun 2019 tentang pengendalian dan pengawasan terhadap minuman beralkohol," kata dia.

Dalam menyikapi pengusulan RUU, pemerintah dan DPR harus membuat riset yang mendalam termasuk ongkos serta keuntungannya yang lalu dimasukkan ke dalam naskah akademis, khususnya terkait RUU larangna minuman beralkohol ini.

"ICJR melihat bahwa Naskah Akademik RUU Larangan Minol tidak memuat analisis tersebut, padahal berpotensi besar membebani APBN dan para pembayar pajak untuk seluruh tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan pemasyarakatan yang dilakukan atas para calon tersangka, calon, terdakwa, dan calon terpidana ini," tutur Erasmus.

"Sudah cukup negara berpikir pendek dengan hanya menghasilkan kebijakan yang berorientasi ancaman pidana. Peran negara adalah mentata kelola kebutuhan masyarakatnya," kata dia.

Sementara itu, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta agar larangan itu dilakukan secara menyeluruh. "Dari Muhammadiyah, sebab 87 persen penduduk Indonesia adalah umat Islam dalam ajaran Islam minuman yang memabukkan (beralkohol) baik sedikit maupun banyak adalah haram. Maka sebaiknya UU tersebut melarang memproduksi mengedarkan dan mengkonsumsi minuman yang memabukkan (mengandung alkohol) di seluruh Indonesia," kata Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, Rabu (11/11).

Dadang mengatakan larangan itu harusnya dilakukan tanpa membedakan usia. Dia menyebut masih banyak makanan yang menyehatkan untuk dikonsumsi. "Sebaiknya bagi umat Islam dilarang secara menyeluruh dan total tidak ada kecuali. Masih banyak makanan yang menyehatkan dan halal," tuturnya.

Demikian pula disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka berharap larangan minuman beralkohol itu dapat diterapkan di semua umur. "Posisinya kalau MUI kan karena itu harap (larangan) pada setiap usia, artinya sama aja harus dilarang nggak ada batasan usia," kata Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan dan Kosmetika (LPPOM) MUI, Lukmanul Hakim, saat dihubungi, Rabu (11/11). Lukman mengatakan minuman beralkohol banyak menimbulkan dampak negatif bagi yang mengkonsumsi. Larangan minuman beralkohol usul Lukman, harusnya diterapkan di semua umur. Sebab, bahaya alkohol tidak pandang umur.

“KONTROVERSI”

Masyarakat Indonesia terkejut. RUU Minol langsung jadi pusat perhatian. Itu dipicu sanksi pidana yang akan diberikan bagi para peminum atau orang yang mengonsumsi minuman beralkohol. Antara lain,  pidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp50 juta.

Sanksi pidana atau denda tersebut tertuang di Pasal 20 Bab VI tentang Ketentuan Pidana RUU Minol. "Setiap orang yang mengonsumsi minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit tiga bulan dan paling lama dua tahun atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp50 juta," demikian bunyi draf beleid tersebut seperti yang diunduh dari situs DPR.

Pasal 7 Bab III mengenai larangan yang dimaksud di atas mengatur bahwa setiap orang dilarang mengonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional dan minuman beralkohol campuran atau racikan.

Sanksi pidana dan denda bagi peminum bisa ditambah jika yang bersangkutan dinilai mengganggu ketertiban umum atau mengancam keamanan orang lain.

Sebagaimana tertuang pada Pasal 21 angka (1) Bab VI tentang Ketentuan Pidana RUU Minol, sanksi pidana penjara bagi peminum minol yang mengganggu ketertiban umum atau mengancam keamanan orang lain ditingkatkan menjadi maksimal lima tahun atau denda maksimal Rp100 juta.

Bahkan pada Pasal 21 angka (2) dinyatakan apabila peminum minol terbukti menghilangkan nyawa orang lain maka pidana akan ditambah sebesar sepertiga dari pidana pokok.

Selain kepada peminum, RUU Minol juga mengatur ancaman sanksi bagi orang yang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan menjual minol.

Pasal 18 Bab VI Ketentuan Pidana RUU Minol menyatakan bahwa orang yang memproduksi minol bisa dipenjara maksimal 10 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar.

Sementara Pasal 19 Bab VI Ketentuan Pidana RUU Minol mengatur ketentuan bahwa orang yang memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan menjual minol bisa dijerat pidana penjara maksimal 10 tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar.

RUU Minol juga mengatur tiga klasifikasi minol berdasarkan kadar etanolnya, tepatnya pada Pasal 4 Bab II tentang Klasifikasi.

Rancangan aturan itu menyebut minuman alkohol golongan A ialah yang berkadar etanol 1 hingga 5 persen, minol golongan B berkadar etanol 5 sampai 20 persen, serta minol golongan C berkadar etanol 20 hingga 55 persen.

Meski begitu, larangan bagi masyarakat untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, menjual, serta mengonsumsi minol tidak berlaku untuk beberapa kepentingan.

Pasal 8 angka (2) Bab III tentang Larangan dituliskan pengecualian RUU Minol diberikan untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan di tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.(cnn/dtc/arfin/servie)


Komentar

Populer Hari ini



Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting