Foto: Muh Triasmara Akub
Polemik Tapal Batas, Pemkab Bolmong Mengacu Putusan MA
Lolak, MS
Prahara tapal batas
antara Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) dan Bolmong Selatan kini mulai
memasuki garis finish. Proses mediasi terakhir antara kedua daerah tersebut
akan dilangsungkan. Ini untuk pengambilan keputusan menyangkut batas daerah
sebagai usulan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) terbaru nanti.
Hal ini diungkapkan
Kepala Bagian Hukum Setda Bolmong, Muh Triasmara Akub, Senin (5/7) kemarin.
“Kami akhirnya harus bersiap terhadap segala kemungkinan, termasuk kemungkinan
terburuk sekalipun. Telah ada beberapa persiapan yang telah dilakukan jauh
sebelumnya, yakni bukti-bukti baru yang akan kami ajukan yang memang disiapkan
apabila menghadapi permasalahan seperti ini. Tentunya hal ini bisa
dipertanggungjawabkan ke-validan informasi dan keabsahan bukti tersebut. Kami
optimis bukti baru tersebut akan semakin menguatkan argumentasi kami selama ini
mengenai batas kedua daerah,” jelas Akub.
Permasalahan tapal batas
antara Bolmong dan Bolmong Selatan ini sejatinya telah berakhir dengan
terbitnya Putusan MA Nomor: 75P/HUM/2018 tanggal 18 Desember tahun 2018 dari
hasil gugatan Bolmong atas Permendagri No 40 Tahun 2016 terkait batas daerah
kedua kabupaten tersebut. Namun sampai saat ini belum ada Permendagri terbaru
terkait batas daerah sebagai tindak lanjut atas putusan MA tersebut.
Hal ini pun memantik
kecurigaan Pemkab Bolmong, bahwa putusan MA Nomor: 75P/HUM/2018 kesannya tidak
mau diakui oleh Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dengan berbagai
argumentasi yang secara hukum lemah dan tidak berdasar.
“Sikap saudara-saudara
dari Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan tersebut diketahui setelah
dalam beberapa rapat fasilitasi penyelesaian masalah tersebut saat akan
menandatangani Berita Acara Rapat, Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow
Selatan enggan untuk memasukan dasar Putusan MA Nomor: 75P/HUM/2018 sebagai
salah satu dasar untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kami berpikir bahwa hal
ini disengaja agar terjadi deadlock, sehingga ujung dari permasalahan ini
kembali diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri untuk diambil keputusan yang
kami kuatir akan kembali merugikan kami,” kata Akub.
Akub juga menjelaskan,
hal prinsip yang diperjuangkan oleh Pemkab Bolmong adalah mengembalikan
kesepakatan batas daerah yang telah ada sebelum diterbitkannya UU No 30 Tahun
2008 tentang Pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan di Sulawesi Utara
(Sulut).
“Kesepakatan tersebut
yaitu kesepakatan batas yang berada di Puncak Toliomu dan di Tapa’ Mosolag yang
tidak diakomodir dalam Permendagri No 40 Tahun 2016 (sebelum dibatalkan),
sehingga Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongodow keberatan. Dengan tidak
diakomodirnya kesepakatan tersebut, maka hal ini bertentangan dengan
Permendagri 76 Tahun 2012 dan Permendagri 141 Tahun 2017 dimana salah satunya
mengatur bahwa dokumen penegasan batas daerah harus ada kesepakatan tentang
batas daerah yang pernah dibuat pemerintah daerah yang berbatasan,” jelas Akub.
Di sisi lain, Akub
menegaskan pihaknya tidak akan berhenti berjuang untuk kedaulatan wilayah dan
masyarakat Bolmong. Jika pun nantinya ada oknum-oknum tertentu yang akan
mengesampingkan Putusan MA Nomor: 75P/HUM/2018 serta mengesampingkan
kesepakatan-kesepakatan sebelumnya yang telah ada sehingga akan merugikan
Pemkab Bolmong, maka Pemkab akan mengambil beberapa langkah. Untuk itu pihaknya
akan mempertimbangkan beberapa langkah baik jalur politik dan hukum.
“Semisal penyampaian
keberatan ke Menteri Dalam Negeri, Laporan Kepada Bapak Presiden Republik
Indonesia atas masalah tersebut, atau bahkan mengajukan permohonan judicial
review kembali jika diperlukan apabila nyatanya Permendagri yang baru terbit
tetap tidak mengakomodir koordinat yang ada dalam putusan Putusan MA Nomor:
75P/HUM/2018,” beber Akub.
Akub pun mengajak semua
pihak legowo dan menyelesaikan persoalan ini dengan tenang dan berlandaskan
ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku dengan mengacu ke Putusan Nomor
75P/HUM/2018, kesepakatan batas yang telah ada sebelumnya.
“Dengan niatan tetap
menghormati UU No 30 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow
Selatan di Sulawesi Utara,” pungkas Akub.
Sebelumnya, sikap tegas
ditunjukkan Pemkab Bolmong terkait mempertahankan kedaulatan wilayah dan
masyarakatnya. Hal itu terlihat pada rapat bersama secara virtual dengan
Direktur Toponimi dan Batas Daerah Dirjen Administrasi Kewilayahan Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri), Mardiayana MSi, di Kantor Kominfo, Jumat (2 /7)
tentang tapal batas antara Bolmong dan Kabupaten Bolsel.
Pemkab Bolmong melalui
Asisten I Bidang Pemerintahan, Deker Rompas menjelaskan, bahwa persoalan tapal
batas antara Bolmong dan Kabupaten Bolsel seyogyanya telah selesai pasca
terbitnya putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 75/P/HUM/2018. Dimana, putusan MA
tersebut merupakan hasil judicial review yang dilakukan Pemkab Bolmong atas
Permendagri nomor 40 tahun 2016.
“Pada judicial review
yang diajukan Pemkab Bolmong hingga dikabulkan, dijelaskan bahwa
Permendagri nomor 40 Tahun 2016 sama sekali tidak mengadopsi kesepakatan adat
tahun 2004 dan tahun 2008. Pasal 2 Permendagri 40 Tahun 2016 secara eksplisit
memunculkan titik-titik koordinat baru yang memotong wilayah kesepakatan awal
yang jumlahnya terdapat 4 titik yaitu kode TK 4, TK 5, TK 6 dan TK 7.
Akibatnya, sebagian besar wilayah yang sebelumnya adalah wilayah Bolmong
ditarik jauh dan masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Bolsel,” jelas
Deker.
Deker juga mengatakan,
berdasarkan hasil mediasi pertemuan antara Bupati Bolmong dan Bupati Bolsel
yang difasilitasi Pemprov Sulut beberapa waktu lalu menghasilkan berita acara.
“Pemprov Sulut telah
memfasilitasi Pemkab Bolmong dan Bolsel terkait tapal batas dari dua kabupaten
tersebut, dalam rapat fasilitasi yang digelar 10 Mei tahun 2021 lalu
menghasilkan berita acara yang mungkin saat ini sudah diterima oleh
Kemendagri,” kata Deker.
Deker juga mengungkapkan,
berdasarkan poin lll pada berita acara tersebut Pemkab Bolmong meminta dalam
mengambil keputusan Kemendagri harus mengacu pada putusan MA nomor 75 tahun
2018.
“Karena, Kemendagri
diberikan kewenangan oleh kedua daerah dalam mengambil keputusan. Oleh sebab
itu kiranya kami berharap Kemendagri dalam mengambil keputusan tetap mengacu
pada keputusan Mahkamah Agung,” beber Deker.(yadi mokoagow)
Komentar