Gelar Sosper, Tuuk: Ada Keputusan Hukum Harus Diketahui Masyarakat


Bolmong, MS

Gerak sosialisasi peraturan daerah (Perda) dilakukan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara (Sulut), Julius Jems Tuuk. Dua produk hukum yang berhasil ditelurkan wakil rakyat Gedung Cengkih dinilai perlu diketahui masyarakat. Ragam keluhan dari masyarakat pun ikut menyembul. 

Kegiatan Sosper ini terkait Perda Sulut Nomor 8 Tahun 2021, Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas dan Perda Sulut Nomor 9 Tahun 2021, Tentang Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin, Selasa (25/1). Pelaksanaannya di Gedung Gereja Jemaat Gereja Masehi Injili di Bolaang Mongondow (GMIBM) Petra Pangian, Desa Pangian Tengah, Kecamatan Passi Timur. 

Adapun di tengah masyarakat terdapat persoalan yang berkaitan dengan aturan tersebut. Warga menyampaikan, sekolah luar biasa dinilai masih sangat kurang. "Di Bolmong ini untuk sekolah disabilitas kurang," ungkap warga. 
Selain itu, khusus permasalahan bantuan hukum bagi masyarakat miskin, ada banyak warga yang merasa mendapat ketidakadilan namun takut untuk melaporkannya. Misalnya, berkaitan dengan ganti rugi atau penyerobotan lahan. "Sehingga sebelum melangkah langsung pasrah. Permasalahan tanah pun sering terjadi, entah ganti rugi dan penyerobotan tanah tiba-tiba hak mereka hilang. Masalah sertifikat ada yang keluar dan ada yang tidak keluar. Untuk hal ini bagaimana di desa-desa ada mendapat tempat pengaduan. Persoalan yang banyak tentang hukum ini, apakah suatu kali dipanggil pihak kepolisian kalau tidak punya pengacara bagaimana cara mendapatkan itu," tanya warga.
Tuuk merespon pertanyaan warga menjelaskan, Sosper ini dilaksanakan karena ada keputusan hukum yang ada di lembaga perwakilan rakyat provinsi. Keputusan hukum itu harus diketahui oleh masyarakat. "Jadi ada pertanyaan di sini mengapa dibikin di gedung gereja, karena saya setiap kali turun biasanya ada dua titik. Kalau di tahun kemarin saya selalu buat di tokoh-tokoh muslim dengan tokoh adat, supaya informasi ini cepat sampai di masyarakat dan yang satu lagi kita undang tokoh-tokoh agama Kristen dan Hindu," kata Tuuk yang juga Sekretaris Komisi IV DPRD Sulut ini.

Menurutnya, tujuan dilaksanakan supaya Perda yang dihasilkan oleh DPRD Sulut bisa diketahui. Terlebih khusus membahas Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas dan Perda Tentang Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin.

"Sebelum Perda ini keluar kira-kira pada tahun 2016 dan 2017, saya banyak berkecimpung dan terlibat dalam organisasi anak-anak disabilitas dan masyarakat Sulut penyandang disabilitas. Masyarakat ini kurang diperhatikan oleh pemerintah dalam hal ini alokasi APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Tiap kali mau minta bantuan musti bakalae dulu baru dapa perhatian sehingga DPRD Sulut membuat Perda inisiatif," tegas legislator daerah pemilihan (Dapil) Bolaang Mongondow Raya (BMR) tersebut 

Lebih lanjut, eksekutif sebagai pelaksana pemerintah diikat dengan aturan ini. "Karena ada sekolah-sekolah disabilitas, nah itu akan diperhatikan, guru-gurunya akan disekolahkan dan lain-lain. Jadi, tujuannya akan mensosialisasikan itu. Dan untuk sekolah penyandang disabilitas kalau boleh akan ditambah karena ini aspirasi," tuturnya.

Menurutnya, sekolah untuk penyandang disabilitas harus berdiri sendiri dan jangan digabungkan dengan sekolah umum. Namun pemerintah justru menggabungkan itu. Dirinya sangat tidak setuju dengan hal tersebut dikarenakan anak disabilitas bisa dibully di sekolah umum. "Yang berikut untuk bantuan pemerintah kepada warga yang disabilitas menurut Perda ini adalah harus memegang kartu terlebih dahulu. Karena dengan adanya kartu tersebut ini merupakan suatu jaminan bagi kita," ungkap politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.

Tuuk juga mengatakan, terkait dengan bantuan hukum, banyak sekali masyarakat miskin yang menjadi korban karena tidak lagi beracara di pengadilan. Oleh sebab itu pemerintah dan DPRD Sulut membuat Perda ini. "Nanti kalau ada masyarakat yang bermasalah hukum yang tidak paham akan hal tersebut di pengadilan, nanti bapak pendeta bisa memfasilitasi kepada biro hukum dan mereka akan memberikan bantuan pengacara. Pengacara itu kerja sama dengan pemerintah," katanya.

Ditambahkannya, bantuan hukum untuk masyarakat miskin harus mengacu benar-benar miskin sesuai dengan kriteria Undang-Undang (UU) dan akan diberikan kartu. "Setelah mendapatkan kartu akan diajukan kepada biro hukum untuk mendapatkan pendampingan dan akan dialokasikan anggaran karena setiap pengacara hanya dibayar 7 juta rupiah. Kalau ada masyarakat yang meminta bantuan hukum karena dikategorikan miskin, pengacara tersebut tidak boleh meminta uang kepada masyarakat yang dia dampingi. Kalau sampai pengacara itu meminta uang kepada masyarakat maka akan dibatalkan perjanjian kerjasamanya," tandas Tuuk. (arfin tompodung)


Komentar

Populer Hari ini



Sponsors

Daerah

Sponsors


Mail Hosting