Foto: Sosper Julius Jems Tuuk di Kampus Institut Agama Islam Kotamobagu. Inset: Julius Jems Tuuk.
Kepala Taman Nasional Bakal Dipanggil Dalam Sidang Adat
Lahan Masyarakat Adat Kinomalingan Dikuasai
Kotamobagu, MS
Keluh warga Desa Kinomalingan meletup. Adanya
lahan masyarakat adat yang dikuasai untuk dijadikan taman nasional jadi
penyebab. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara (Sulut) pun
mendesak agar penanggung jawabnya harus dipanggil dalam sidang adat.
Polemik ini mencuat saat Anggota DPRD Sulut,
Julius Jems Tuuk, Rabu (26/1), di Kampus Institut Agama Islam Kotamobagu
(IAIK), menggelar Sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) Sulut terkait Perda
Sulut Nomor 8 Tahun 2021, Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Penyandang
Disabilitas dan Perda Sulut Nomor 9 Tahun 2021, Tentang Bantuan Hukum Bagi
Masyarakat Miskin.
Pada kesempatan itu, Haryono Bobuyongki yang juga
Sangadi Desa Kinomalingan, mengungkapkan
permasalahan sengketa lahan seringkali didapati di masyarakat. Khususnya
masyarakat adat yang tergolong miskin. "Masyarakat adat yang tergolong
miskin, seringkali berhadapan dengan sengketa lahan atau kejadian sengketa
lahan seringkali terjadi di wilayah adat kami," kata Haryono.
Dijelaskannya, ada permasalahan lahan di Desa
Kinomalingan, Kecamatan Dumoga Barat. Di situ ada lahan yang ditetapkan sebagai
taman nasional, yang sebenarnya lahan itu bisa dikelola masyarakat adat yang
tergolong miskin.
"Pada tahun 1963 ada masyarakat transmigrasi
dari Pulau Bali datang ke wilayah kami dan wilayah sebesar 398 hektar itu
diberikan kepada masyarakat Bali pada waktu itu. Pada tahun 1970-1980, taman
nasional datang untuk mengklaim wilayah sebagai hasil pembagian dari
transmigrasi itu. Masih ada sisa, yang sebenarnya masih bisa dikelola
masyarakat Kinomalingan, tapi itu diklaim oleh taman nasional menjadi milik
mereka," jelasnya.
Diungkapkannya, sampai saat ini di wilayah mereka
Kinomalingan, ada konflik masyarakat adat yang tergolong miskin. Mereka
menggantungkan hidupnya di hutan dan dibatasi dengan aturan yang diberikan
taman nasional. "Dari kejadian ini, apakah di wilayah hutan yang berada di
desa Kinomalingan itu bisa dipinjam pakai demi kesejahteraan masyarakat,"
tuturnya.
Menanggapi hal tersebut, anggota DPRD Sulut Jems
Tuuk mengatakan, negara memberikan ruang lewat Undang-undang (UU) Nomor 41
tentang kehutanan, di mana hutan lindung dapat dikelola untuk masyarakat.
"Jadi persoalan di desa Kinomalingan tidak
berhenti di situ, orang Bali yang tinggal di sana dengan mengambil 398 hektar,
pemerintah berikan. Tapi kita tidak bisa menolak kalau program ini sudah turun
atau membatalkan karena ini mengikat," kata Tuuk.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) ini menyampaikan, menjadi persoalan lain di desa Kinomalingan adalah
batasan desa Kinomalingan dengan desa Werdhi Agung. Bukan saja diambil tanah
adatnya, bahkan nama Mongondow wilayah adat atau gunung Tayap diubah namanya
menjadi gunung Lancip. "Pernahkan orang Mongondow di tanah Dewata, nama
kampung di sana diganti nama Mongondow, tidak pernah ada," tegasnya.
"Jadi saya minta kepada Pak Sangadi untuk
menyurat terhadap klaim terhadap gunung Lancip tanah rakyat, setelah ditelusuri
itu di balik nama oleh taman nasional. Tidak boleh nama adat itu diganti.
Torang akan panggil kepala taman nasional dan melakukan sidang adat. Karena
orang-orang yang datang di wilayah Mongondow harus menghormati adat di
sini," sambung Tuuk.
Nampak hadir dalam kegiatan tersebut sejumlah
tokoh masyarakat adat, tokoh muslim dan akademisi yang berada di Bolaang
Mongondow Raya (BMR). (arfin tompodung)
Komentar